PENDIDIKAN
KARAKTER
DI INDONESIA
Oleh:
SUTEJA
Staff
Pengajar IAIN SNJ Cirebon
A.
PENGANTAR
Karakter, dalam bahasa Inggris, dimaknai sebagai kualitas mental atau moral seseorang yang
dapat membedakan dia dari orang lain (mental or moral dualoities that make
one person different form the other).[1]
Karakter, dalam bahasa Yunani
berasal dari kata “charassein” yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Karakter
seseorang merupakan ciri khas dan bersifat natural dan mengakar sehingga ia
menjadi penggerak atau pendorong seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan
memperoses sesuatu. Psikologi memandang karakter (character) atau watak
sebagai istilah lain untuk kepribadian dari titik tolak etis atau moral, yang
biasanya memiliki ikatan relatif tetap, misalnya kejujuran.[2]
Kosa kata Bahasa Arab yang identik degan karakter adalah istilah akhlâq, yang merupakan jama’
dari kata khuluqun yang secara linguistik diartikan dengan budi
pekeri, perangai, tingkah laku atau tabiat, tatakrama, sopan santun, adab dan
tindakan.[3]
Tokoh-tokoh muslim semisal Ibn Miskawaih (w. 421 H./1030 M) dan
al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.) merumuskan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
sebelumnya.
Karakter, dengan demikian, memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama,
perbuatan yang telah tertanam kuat dalam diri sesorang sehingga menjadi
kepribadian. Kedua, perbuatan yang
dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ketiga, perbuatan yang timbul dari dalam diri orang
yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Hal tersebut
murni atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat,
perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara.
Karakter identik dengan kepribadian. Kepribadian dianggap ciri
khas atau karakteristik atau sifat khas seseorang, yang bersumber dari hasil
bentukan yang diterima dari lingkungan keluarga dan juga bawaan sejak lahir.[4] Individu yang berkaarakter baik adalah
individu yang biasa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap
konsekuensi darikeputusan yang dibuatnya. Namun demikian, memiliki suatu
karakter yang baik, tidak dapat diturunkan begitu ia dilahirkan, tatapi
memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan.
B. DASAR PENDIDIKAN KARAKTER
Istilah pendidikan karakter masih mengalami kerancuan
pengertian di dalam masyarakat. Ketidaktepatan pemaknaan terhadap pendidikan
karakter antara lain: pendidikan karakter sama dengan mata pelajaran budi
pekerti. Kedua, pendidikan karakter
merupakan tanggung jawab guru Bidang Studi Agama dan PKn. Ketiga, pembelajaran pendidikan
karakter akan menjadi mata pelajaran baru di kurikulum.
Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan
kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam
dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.[5] Pendidikan karakter dapat dimanai sebagai sebuah proses transformasi nilai-nilai
kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi
satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Pendidikan karakter, dengan
demikian, adalah proses pengarahan dan
pembimbingan terhadap peserta didik agar memiliki nilai baik dan berperilaku
yang baik, untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
Pembinaan karakter sangatlah penting dalam membangun kecerdasan,
perasaan serta perilaku individu bagi perkembangan bangsa dan negara.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang terfokus kepada proses
pembentukan kepribadian melalui pengetahuan moral (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan perilaku
moral (moral behavior) yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata
seseorang, yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, dan kerja keras.
Proses pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia tentunya harus
selaras serta sejalan dengan landasan konstitusional Negara RI yaitu
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berdasar pada Pancasila. Oleh
karenanya, esensi pendidikan nasional harus mampu membentuk karakter serta
kepribadian bangsa Indonesia. Pembentukan karakter
sendiri merupakan salah satu tujuan
pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003
menyatakan, di antara tujuan pendidkan nasional adalah mengembangkan potensi
peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanat UUSPN itu bermaksud agar pendidikan tidak semata-mata mampu
mebentuk bangsa yang cerdas secara intelektual, melainkan juga mampu membentuk
kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Sehingga, diharapkan, lahir benerasi
bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakater baik yang bernafaskan
nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana dikehendaki oleh ajaran
universal agama-agama. Kecerdasan yang berlarater adalah tujuan akhir
pendidikan yang sebenarnya.
Martin Luther King menyatakan, “intelligence plus character is
the goal of education”. Pendidikan karakter, dalam dimensi lain, mengajarka
kebiasaan cara berfikir dan berperilaku yang membantu seseorang untuk hidup dan
bekerjasama sebagai keluarga, masyarakat dan bangsa, serta membantu orang lain
untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.[6]
Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang didalamnya
terdapat tindakan mendidik yang diperuntukkan bagi generasi selajutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk
penyempurnaan diri individu secara terus menerus dan melatih kemampuan diri
menuju ke arah hidup yang lebih baik. Pendidikan karakter, dengan demikian,
merupakan upaya yang sangat menjanjikan mampu memberikan jawaban terhadap
persoalan pendidikan di Indonesia. Karenanya, ia harus terprogram dan terukur
ketercapaiannya.
Pendidikan karakter, karenanya, harus menekankan kepada tiga komponen karakter yang
baik yakni moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral
action (perbuatan bermoral). Dalam konteks proses pendidikan
karakter di lembaga sekolah, tahapan moral knowing disampaikan guru atau
pengajar. Adapun moral feeling dikembangkan melalui
pengalaman langsung para peserta didik dalam konteks sosial dan personalnya.
Sedangkan moral action meliputi setiap upaya sekolah dalam rangka
menjadikan pilar pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya
diwujudkan menjadi tindakan nyata. Hal tersebut diwujudkan melalui serangkaian
program pembiasaan melakukan perbuatan yang bernilai baik menurut parameter ilahiah
di lingkungan sekolah. Dalam mewujudkan moral action, sekolah
memperhatikan tiga aspek lainnya terkait dengan upaya perwujudan materi
pendidikan menjadi karakter pada diri peserta didik. Ketiga aspek tersebut
meliputi kompetensi, keinginan serta pembiasaan di lingkungan lembaga sekolah.
Karena pendidikan karakter merupakan suatu habit (kebiasaann),
maka pembentukan karkater sesorang itu memerlukan communities of
character yang terdiri dari
keluarga, sekolah, masyarakat, institusi keagamaan, media, pemerintahan dan
berbagai pihak yang mempengaruhi nilai-nilai generasi muda. Pembentukan
karkater memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, inervensi melalui
proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus menerus dalam jangka waktu
yang panjang yang dilaksanakan secara konsisten dan penguatan.
Dasar hukum secara yuridis formal pendidikan karakter di lembaga
sekolah adalah:[7]
1.
Undang-Undang Dasar 1945
2.
Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
4.
Permendiknas Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan
5.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
6.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan
7.
Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010-2014
8.
Renstra Direktorat Pembinaan SMP Tahun 2010-2014.
C. ORIENTASI DAN TUJUAN PENDIDIKAN KARAKATER
Karakter adalah kualitas kepribadian dan ia bukan sesuatu yang
sudah jadi (isntant), melainkan melalui proses pendidikan yang
dilaksanakan secara sungguh-sungguh (ijtihâd), kreatif, innovative (ibdâ’,
ibtikâr), konsisten (istiqâmah) terus menerus (muwâdzabah),
berkesinambungan (mudâwamah), dan berhati-hati (ihtiyâth). Pendidikan ini harus dimulai sejak di
lingkungan terkecil dalam keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan sekolah.
Lembaga pendidikan sekolah
sebagai salah satu institusi yang tumbuh dan berkembang secara indigenous
pada lingkungan masyarakat Indonesia, telah banyak memberikan sumbangsih
berharga terhadap pembentukan serta pengembangan karakter serta kepribadian
warga negara. Proses pemebelajarannya dikemas secara menyeluruh, sehingga mampu
mengembangkan ketiga ranah domain dalam pendidikan karkater.
Segala sesuatu yang dilakukan guru adalah mempengauhi karakter
peserta didik. Guru dapat membantu dalam
membentuk karakter peserta didik dengan cara memberikan keteladanan, pembiasaan
dan pelatihan (penguatan). Kesempatan ini dimiliki oleh guru ketika memberikan
materi atau bahan ajar kepada peserta didik, disamping dalam pergaulan
sehari-hari selama mereka berada di lingkungan sekolah. Guru harus mamp menjadi
inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator yang kritis, inovatif, dan
produktif dalam membangkitkan semangat peserta didik.
Pembentukan karakater, secara psikologis dan sosiologis, meliputi
seluruh potensi individu peserta didik yakni: kognitif, afektif, konatif dan psikomotor dalam konteks interaksi sosial
kultural dalam keluarga, masyarakat dan sekolah dan belangsung sepanjang hayat.
Sehingga dapat dielompokkan menjadi olah hati, olah fikir, olah raga dan
kinestetik, serta olah rasa dan karsa. Kesemuanya harus bersumber kepada nilai luhur
budaya bangsa Indonesia, yang bertujuan membina kepribadian generasi muda.
Penyelenggaraan pendidikan karakter di lembaga sekolahah harus
berpijak pada nilai-nilai dasar karakter dasar manusia sebagai hamba dan
khalifah Tuhan. Selanjutnya direduksi
menjadi nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, kondisi, dan
lingkungan sekolah itu sendiri. Pendidikan karakater juga harus berpijak pada
nilai-nilai universal agama. Pendidikan karakater di lembaga sekolah, dengan
demikian, memiliki tujuan yang pasti apabila berpijak kepada kedua nilai
universal tersebut, yakni nilai-nilai universal kemanusiaan (insaniah)
dan ketuhaan (ilahiah). Para psikoloog merumuskan beberapa nilai karakter
yang seharusnya diajarkan, antara lain: cinta Allah dan cinta segala ciptaan
Allah, tanggungjawab (amânah), jujur (shidq), hormat (waqârah)
dan santun (ulfah), kasih sayang
(rahmah), peduli (ihtimâm), kerja sama (ta’âwun fi al-Birr),
keadilan (‘adâlah), kepemimpinan (riâsah, qudwah), rendah hati (tawâdhu’),
toleransi (tasâmuh), cinta damai serta cinta persatuan.
Secara praksis, disain besar pendidikan karakter tentang
pengembangan karakter yang berlangsung dalam konteks suatu satuan
pendidikan yang menggunakan pendekatan
kholistik dapat dibagi ke dalam empat
pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam
bentuk budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-kulikuler dan/atau
ekstrakulikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan dalam masyarkat.
Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas
masing-masing, pengembangan karakter dilaksanakan dengan adanya proses
penyampaian materi pelajaran dengan menggunakan metode yang variatif dan
suasana yang menyenangkan. Proses berikutnya
ialah pembiasaan yang dilaksanakan pada seluruh kegiatan serta lingkungan
sekolah. Adapun pembiasaan yang dilaksanakan di sekolah diantaranya: shalat
dzuhur berjamaan di masjid sekolah,
shalat dhuha dan pembacaan al-Quran secara bersama-sama sebelum memulai jam
pertama pelajaran sekolah, mengikuti pelajaran tepat waktu., pembatasan
komunikasi selama berada didalam lingkungan sekolah, disiplin waktu, dan
sebagainya. Selain pembiasaan dan
kegiatan belajar mengajar, di lingkungan sekolah diselenggarakan pula beberapa kegitan
ekstrakulikuler.
Para pakar pendidikan sepakat dan sependapat pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan sekolah. Sebagian pakar
menyarankan penggunaan pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di
negara-negara Barat, seperti pengembangan moral kognitif, analisis nilai, dan
klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan
tradisional melalui penanaman nilai-nilai sosisal tertentu dalam diri peserta
didik. [8]
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, penyelenggaraan
pendidikan karakter di lembaga sekolah harus melibatkan seluruh komponen yang
terakit. Komponen yang dimaksud adalah: kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, pengelolaan bahan ajar, pengelolaan sekolah, pelaksanaan kegiatan
kokurikuler, pemberdayaan sarana dan prasarana, pembiayaan, serta etos kerja
seluruh warga sekolah.
Pendidikan karakter harus dirancang dan dilaksanakan secara
bertujuan untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku yang berhubungan
dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan.
Nilai-nilai tersebut kemudian terinternalisasikan kedalam fikiran, sikap,
perasaan, ucapan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, budaya dan adat istiadat.
Tujuan pendidikan karakter adalah pemahaman nilai dalam diri
peserta didik dan tata kehidupan bersama (kebersamaan) yang lebih menghargai
perbedaan dan kemajemukan. Pendidikan
karakater juga bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan
akhlak mulai peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai dengan
standar kompetensi lulusan. Peserta didik, dengan demikian, diharapkan mampu
mengembangkan dan meningkakan potensi kepribadiannya melalui penerapan pegetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak
mulia, yang terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Secara insitusional, pendidikan karakter mengarah pada pembentukan budaya sekolah
yaitu, penerapan nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan
sehari-hari dan symbol-simbol yang diaplikasikan seluruh warga sekolah. Budaya
sekolah adalah ciri khas, karakter dan citra sekolah yang akan dirasakan oleh
para pengguna (users) dan masyarakat pada umumnya.[9]
Keberhasilan pendidikan karakter sangat membantu bagi keberhasilan akademik.[10]
Secara global, internalisasi pendidikan
karakter di lembaga sekolah merupakan kekuatan yang sangat membantu upaya
membendung dan menyaring budaya negative dari luar. Pendidikan karakter di
lembaga sekolah menjadi sangat urgen karena, berperan dalam melestarikan dan
memperjuangkan nilai-nilai mulia agama dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Namun demikan, perlu ditetapkan indicator yang dapat mengukur
keberhasilan pendidikan karakter di lembaga sekolah. Bebebarapa indikator
dimaksud adalah :
1.
Mengamalkan ajaran agama dengan patuh dan konsisten, sesuai dengan
tahap perkembangan remaja
2.
Menyadari kekurangan dan kelebihan diri sendiri
3.
Memiliki dan menunjukkan sikap percaya diri
4.
Mematuhi aturan-aturan social yang berlaku di masyarakat
5.
Menghormati kemajemukan dan perbedaan
6.
Membiasakan hidup jujur dalam ucapan dan tindakan
7.
Menjauhi prasarangka buruk
8.
Memiliki dan menunjukkan kemampuan berfikir logis, kritis, dan
kreatif
9.
Memiliki kebiasaan belajar secara mandiri
10. Memiliki dan menunjukkan
kemampuan analisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
11. Memanfaatkan lingkungan
secara benar dan baik
12. Menerapkan hidup hemat,
bersih, disiplin serta mampu memanfatkan waktu luang
13. Mampu berkomunikasi dan
berinteraksi secara sehat dan santun dengan siapapun
14. Memahami hak dan kewajiban
diri dan orang lain dalam pergaulan sehari-hari, serta menghargai perbedaan
15. Menujukkan ketrampilan
berbicara, membaca, menyimak, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
asing
16. Menguasasi pengetahuan yang
dibutuhkan untuk melanjutan pendidikan
17. Memiliki jiwa
kewirausahaan.[11]
Pendidikan karakter merupakan proses pembentukan karakter
yang memberikan dampak positif terhadap perkembangan emosional, spiritualitas,
dan kepribadian seseorang. Oleh sebab
itu, pendidikan karakter atau pendidikan moral itu merupakan bagian penting
dalam membangun jati diri sebuah bangsa. Kemendiknas menentukan 18 nilai yang harus disisipkan dalam proses
pendidikan di Indonesia yaitu: religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab.
Sekolah yang berhasil dalam pendidikan karakter adalah sekolah
yang mampu menciptakan budaya sekolah berlandaskan nilai-nilai karakter baik dan akhla mulia. Indikator ini akan menjadi parameter keberhasilan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan karakter dalam rangka enyiapkan generasi muda
bangsa Indonesia yang setiap terhadap budaya bangsa dan bersikap hati-hati
didalam menghadapi kenyataan masuknya budaya dan pengaruh negative dari
manapun. Lembaga pendidikan sekolah bertugas meberikian pencerahan intelektual
dan penjernihan hati. Selain itu, lembaga sekolah bertugas mebangun fondasi
yang kokoh dalam membangun karakter peserta didik di tengah era globalisasi dan
modernisasi. Lembaga sekolah, masyarakat dan keluarga harus bersinergi dalam
mensuseskan internalisasi pendidikan karakter. Sekolah berada di garda terdepan
dalam pembentukan karakter peserta didik.
D, REKOMENDASI
Lahirnya
pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali
jiwa spiritual yang
ideal. Tujuan utama pendidikan adalah
untuk membentuk karakter. Pendidikan karakter dapat dijadikan sebagai strategi
untuk mengatasi pengalaman yang selalu berubah sehingga mampu membentuk
identitas setiap individu yang kokoh terbentuknya perubahan
ke arah kemajuan tanpa harus
bertentangan dengan norma yang
berlaku..
Pendidikan
karakter merupakan aspek penting bagi generasi penerus. Seorang individu tidak
cukup hanya diberi bekal pembelajaran intelektual belaka tetapi juga harus
diberi pembelajaran moral dan spiritual.
Pendidikan karakter diberikan seiring dengan perkembangan intelektual
peserta didik. . Pendidikan karakter di sekolah dapat dimulai dengan
memberikan contoh teladan bagi peserta didik dengan diiringi pemberian pembelajaran sehingga dapat membentuk individu yang berjiwa sosial, berpikir kritis, memiliki dan mengembangkan cita-cita luhur, mencintai
dan menghormati orang lain, serta adil dalam segala hal.
Persoalan pendidikan
karakter di Indonesia sejauh ini menyangkut pendidikan moral dan dalam aplikasinya
terlalu membentuk satu arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata
pelajaran lainnya, dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut kurikulum yang diringkas kedalam formula menu siap saji tanpa
melihat hasil dari proses yang dijalani. Guru pun cenderung mengarahkan
prinsip moral umun secara satu arah, tanpa
melibatkan partisipasi peserta didik untuk bertanya dan mengajukan pengalaman
empiriknya.
Sejauh ini dalam proses pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada pembentukan karakter individu belum dapat
dikatakan tercapai karena dalam prosesnya pendidikan di Indonesia terlalu mengedepankan
penilian pencapaian individu dengan tolak ukur tertentu terutama
logik-matematik sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang sebagai warga
kelas satu. Dalam prosesnya
pendidikan karakter yang berorientasi pada moral dikesampingkan dan akibatnya
banyak kegagalan nyata pada dimensi pembentukan karakter individu. Indonesia, misalnya, terkenal di pentas dunia karena kisah yang buruk
seperti korupsi dengan moralitas yang lembek.
Pilar utama dan menjadi komponen terpenting
dalam membangun sebuah bangsa dan negara yang terhormat, dan mandiri dibangun
mulai dari keluarga.Hal yang selalu
musti dipertimbangkan adalah bahwa,
menumbuhkan karakter mulia pada diri anak diperlukan interaksi yang baik
antara orang tua, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan rumah, sekolah, dan
keseharian anak-anak harus menerapkan strategi pengembangan karakter dan
perilaku agar terbentuk kepribadian anak yang baik.
Proses
belajar yang tidak menyentuh karakter bukanlah disebut sebagai pendidikan. Maka
menumbuhkan karakter baik pada peserta didik
membutuhkan tiga strategi pokok
pengembangan karakter dan perilaku. Strategi yang
dimaksud adalah keteladanan, pembiasaan,
dan disiplin. Menumbuhkan karakter bukan dilakukan melalui lisan, melainkan
perbuatan. Mematuhi rambu-rambu lalu lintas, setiap orang tua juga harus melakukannya dalam
kehidupan sehari-hari dengan tidak melanggar peraturan selama berada di jalan
raya. Ketegasan
yang mendidik juga perlu diterapkan agar menumbuhkan kepercayaan antara anak
dan orang tua, guru, serta masyarakat.
Orang tua dan guru harus menjaga
konsistensi terhadap keputusan yang telah ia tetapkan.
RUJUKAN
Asmani,
Jamal Ma’mur, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah,
Jakarta, DIVA Prss, 2011
Baalbaki,
Rohi, al-Mawrid a Modern Arabic-English Dictionary, Beirut,
Dar el-Ilm li al-Malayin, 1988
Daulan,
Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogjakarta,
Tiara Wacana, 2001.
Evison,
Alan, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Oford Unversity Press, 1983
Kemendiknas
RI, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta,
2010.
Kesuma, Dharma Cepi Triatna, Johar Permana, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik
di Sekolah, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2012.
Khan,
Yahya, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri; Mengdongkrak Kualitas
Pendidikan, Yogjakarta, Pelangi Publishing, 2010
Koesoema
A., Doni, Pendidikan Karakater; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta,
Grasindo, 2010
Poerwadarminta, I.R., Etika
Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, Bina
Aksara, 1986.
_______________________, Logika
Filsafat Berfikir, Jakarta, Rineka
Cipta, 1984.
Sallis, Edward, Manajemen Mutu
Terpadu Pendidikan, terj., Ahmad Ali Riyadi, dkk., Yogjakarta, IRCiSoD,
2011.
Samani, Muchlas dan Hariyanto,
Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012.
Sudjana, Nana, Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2008
Suyono,
Ariyono, Kamus Antropologi, Jakarta, Akademika Presindo, 1999.
Tim
Widyautama, Kamus Psikologi, Jakarta, Widyautama, 2010
Undang-Undang
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 14 tentang
Guru dan Dosen
Undang-Undang
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 19 tentang Standar Pendidikan Nasional
Wibowo, Agus, Manajemen
Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2013.
[1] Evison, Alan, Oxford Learner’s Pocket
Dictionary, Oford Unversity Press, 1983, hal. 59.
[2] Tim Widyautama, Kamus Psikologi, Jakarta,
Widyautama, 2010, hal. 46
[3] Baalbaki, Rohi, al-Mawrid a Modern
Arabic-English Dictionary, Beirut, Dar el-Ilm li al-Malayin, 1988, hal.521.
[4] Koesoema A., Doni, Pendidikan
Karakater; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta, Grasindo, 2010,
hal. 79-80.
[5]Samani, Muchlas dan Hariyanto,
Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012,
hal. 45.
[6] Khan, Yahya, Pendidikan Karakter
Berbasis Potensi Diri; Mengdongkrak Kualitas Pendidikan, Yogjakarta,
Pelangi Publishing, 2010, hal. 1-2.
[8] Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan
Karakter di Sekolah Menengah Pertama
[9] Lihat Koesoema, Pendidikan Karakater,
hal. 135.
[10] Asmani, Jamal Ma’mur, Buku Panduan
Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Jakarta, DIVA Prss, 2011,
hal. 43-44.
[11] Diolah dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar