CATATAN TENTANG NEGRIKU
KUMPULAN PUISI
FAIRUZ ‘AINUN NA’IM
Sekretaris
umum PCI NU Maroko
KERJA
BERANG
FAIUZABAD
CIREBON FOUNDATION
JEP
KAUKUS MUDA NU
CIREBON 2014 M./1435 H.
Ah..... Ini Enak...
Matamu
selalu berkedip melirik proyek
Kaupun
menebar kode keamanan
Agar semua
mendapat kresek
Milyaran
sampai trilyunan
Lalu rakyat
menghujat, kenapa kau lakukan ini?
Kau mengelak
sekelebat kilat, “bukan aku...”
Dalam hati
kau berujar “ah... ini enak...”
Ada lagi
kau,
sembunyikan
matamu ke bawah
Menatap
layar membentang tubuh-tubuh telanjang
Di tengah
kerumunan rekan-rekanmu di meja sidang
Yang sedang
khusyuk mendengar sampai-sampai pulas
Lalu rakyat
kembali menghujat, kenapa kau lakukan ini?
Kau ini
wakil kami, kau tak punya etika dan pekerti!
Kali ini kau tak mengelak tertangkap basah
Kali ini kau tak mengelak tertangkap basah
Kaupun
menyerah, sambil bergumam “ ah...ini enak...”
Dan di ruang
yang lain, kau sibuk menghitung angka
Demi
kenyamanan tidurmu dan obrolanmu
Kau ingin
rumah rakyat nyaman untukmu, mewah untukmu,
Kau
gelembungkan jarimu untuk gedong mewahmu
Kau bilang
yang lama sudah tak nyaman
Sedang kau
sendiri tak pernah datang untuk sidang’
Sesekali kau
datang, kau hanya numpang mendengkur
Rakyat
sekali lagi menghujat, kenapa kau tega lakukan ini?
Kau ini
wakil kami, kenapa kau terus memperkaya diri?
Kenapa kau
tega menyayat luka diatas duka kami?
Kaupun
berujar dengan lugas
“ini demi
peningkatan dan kenyamanan kinerja”
Maksudmu?
Biar kau tertidur lebih pulas?
Bukan, biar
aku bisa memaksimalkan tugasku
Oh, biar kau
semakin membengkakkan uang kami?
Kaupun
tersudut terusut
Sambil terus
bergumam, “itu kan perasaan rakyat saja”...
“bagiku,ini
enak...”
Fairuz
‘ainun na’im
Kenitra,20
november 2012
Apa
Kabarmu Negeriku
Apa
kabarmu para pemangku kursi empuk senayan?
Nampaknya
sebagian dari kalian enggan beranjak darinya
Lantas
kesana kemari mencari dukungan
Agar
kembali lagi memperpanjang jabatan mengembalikan modal
Apa
kabarnya para menteri kader partai?
Sudah
senangkah jatah partaimu tercapai?
Tidak apa
bukan ahli, yang penting partai senang
Atau
barangkali untuk menutupi bangkai yang belum hilang?
Bagaimana
keadaanmu papua tanah mutiara?
Apakah
pesohor itu giat berkampanye di tanah surgamu?
Lalu
mencampakkannya usai pesta pora politik itu sirna
Menenggelamkan
lagi papua diantara janji-janji palsu
Lalu
ibu pertiwi, masih tetapkah kau bersusah hati?
Seperti
yang dikatakan lirik lagu tentangmu
Yang
seringkali kita nyanyikan
Hanya
dinyanyikan
Entahlah,
dimana ujung dari kegelisahanmu
Entah
dimana akhir kekejaman jiwa ini
Yang
katanya mencintaimu
yang
katanya denganan segala daya akan melindungi
Bergandeng-gandeng
pulau bernama NKRI
Benteng, Senja
dan Pencarian
Ini takdir Tuhan
Tembok-tembok besar itu bukan
sekadar hiasan
Mereka adalah peradaban
Mereka adalah pertahanan
Meski kejayaan jauh di
belakang
Dan merah padam adalah
pengingat
Kapan kita memulai
Kapan kita mengakhiri
Jejak, goresan dan
perasaan
Seperti batu yang
ditetesi air
Hati dan pikiran semakin
dalam
Dan seringkali terlihat
heran
Selalu terjadi terus
mengalir
Maka semestinya
Makna sajakku tak pernah
berakhir
Aku,kamu dan dia
Tak pernah berhenti
memandang
Kenitra,
2 Maret 2014
Beranjak
Aku tega
Aku tega
Kamu tega
Aku membiarkan diriku seperti ini
Kamu membiarkan dirimu seperti itu
Terus menerus
Matamu tak bisu
Begitu pula aku
Bahasa tubuh
Tampak lusuh
Sudahlah, lepaskanlah
Kita harus berbenah
Rabat, 13 avril 2014
Berjalan Sendiri
Ramai, ramai di sekelilingmu
Gaduh, juga riuh
Bicara ini itu
Tak menentu
Ada yang
taktahu
Ada yang tak
pernah tahu
Bahkan tak mau
tahu
Tentang nasibmu
Tentang perasaanmu
Ketika kau berbicara
Hanya angin
yang seksama
Tanpa kau tahu salah apa
Kau bersama mereka
Tapi mereka tak
bersamamu
Kau sendiri,
Berjalan sendiri.
Hanya debu jalanan
Dan daun
yang berserakan
Yang setia menemani
Kau tahu tak
ada yang merindukanmu
Rembulan pun
pada mmelihatmu
Mentari enggan
senyum untukmu
Sungguh pedih
menindih hatimu
Tapi kau tak
pernah benci
Pada mereka
yang tak peduli
Pada jalanan yang tak mau mengerti
Tentang jejakmu yang menapaki
Kau selalui ngin meresapi
Setiap tetes embun kehidupan
Kau selalu ingin menikmati
Setiap kesejukan dalam hembusan
Kau selalurela
Terhadap sakit yang selalu mendera
Kau memang sendiri
Selalu berjalan sendiri
Setiap sudut telah mengerti
Kau teringat
Bahwa hidup haruslah bermanfaat
Sapalah setiap yang lewat
Kuburlah setiap
kesumat
Tak perlu berlari
Dari segelas
kehidupan yang pahit ini
Tak perlu marah
Bila kau bisa ramah
Tak perlu risau
Mengapa kau sendiri
Takada yang
menemani
Karena Tuhan
mengerti
Kenitra, 21
April 2013
Cinta Merdeka
Teriak gegam
gempita mengumandangkannya
Memelihara
yang kita dapat
Menjaga dan
melindungi
Apa yang
seharusnya kita cintai
Kita saling
mencintai,
Kita saling
menyayangi,
Kita saling
menghormati
Kita saling
menghargai
Kita
berbeda, kita bersatu
Kita
berragam, kita mengenal
Kita
berjuang, bersama-sama
Kita
bersatu, kita merdeka
Menjaga ibu
pertiwi
Merawat jati
diri
Kita merebut
kemerdekaan
Kita
mencintai kemerdekaan
Rabat, dini
hari 19 Agustus 2014
Dalam keheningan malam
Dalam
keheningan malam,
ramai-ramai
manusia menghentikan pergolakan lahir dan batinnya.
Dibawah
siraman terik mentari,
manusia
kadang saling menghujani nalar-nalarnya hingga berkecamuk.
Di
kehangatan senja,
manusia
mulai menepikan diri
dari
segala kompleksitas yang ada pada dirinya.
Dalam
dekapanNya,
manusia
terlindung dari berbagai bentuk malapetaka
yang
bisa saja ditimbulkan
dari
seluruh gerak-gerik jiwa dan anggota tubuhnya.
Menyapa
Sang Pemilik jagat raya
adalah
fithrah manusia
yang
mana dengan itu manusia benar-benar bisa memperlakukan dirinya,
dunia
dan isinya.
Memohon
pertolongan dan pengampunan
adalah
keharusan diri
sebagai
makhluk yang tak pernah steril dari dosa.
Rabat,
dini hari 14 Agustus 2014.
Dimana Indonesia?
Orang bilang negeriku
kaya
Maka bangga menggelora
di dada
Dan tak jarang aku
jumawa
Dan ternyata mata
Hanya melihat dari satu
jendela
Di Timur sana
Memang kaya
Membentang luas samudera
Menghijau hutan
belantara
Sedang orang-orang Jakarta
Menjamah karena kuasa
Dan sejahtera
Hanyalah semu bagi
penghuninya
Pembangunan
Adalah paradoks
Kita bisa saksikan
Jembatan baru yang
menggandeng pulau itu
Terasa memudahkan
Sedang feri seperti
tanpa riak
Nasionalisme
Barangkali hanya
Sebongkah kata
Yang maknanya
entah kemana
Yang gunanya
entah untuk apa
Timur sana adalah
kumpulan permata
Kita beramai-ramai
medatanginya
Tanpa menjamah jiwa-jiwa
Yang dipaksa mengakui
kekalahannya
Lalu aku?
Sampai manakah
mataku?
Sedalam apakah
cintaku?
Setebal apakah
tekadku?
Atau seacuh apa
diriku?
Ibu pertiwi
Maafkan aku
Aku tahu bumimu tak cuma disini
Yang penuh sesak oleh
keinginan tanpa rasa
Sedang di Timur itu
Tak ada hasrat sama
sekali
Mereka hanya ingin
saling mengerti
Kenitra, 9 Maret 2014
Gelisah
Kopi
panas yang tersaji
Asapnya
melambai
Meminta
mulutmu
Menghampirinya
dengan kelembutan
Tetapi
kau tak bergeming
Matamu
kosong
Mulutmu
kelu
Wajahmu
pucat pasi
Gadis berbulu mata lentik
Membuat jiwamu bergetar
Membuat langkahmu gamang
Menepikan seluruh gemerlap dunia
Yang kini bersemayam di hati
Adalah
senyumnya yang tiada henti
Kerlingan
matanya yang menawan
Rintihan
suaranya yang indah
Kau
tak dapat lenyapkan
Bayangan
wajahnya
Hatimu
mengisyaratkan cinta
Namun
tak sanggup menumpahkan
Entah rasa yang harus kau bela
Ataukah
suara mereka
Yang
menghentikan langkahmu?
Mengubur
rasa di relung hatimu
Kenitra,8
Desember 2013
Gelora Dada
Selalu saja
mengendap-endap
Kau tak
pernah menampakkan diri
Atau kau tak
mampu muncul di hadapan siapapun?
Hanya
bergayut tak menentu di setiap waktu
Cobalah
tengadah pada langit hitam ramai
Bintang-bintang
tak segan menebar senyumnya
Mereka
mengajakmu membuka diri
Mengsiyaratkan
agar kau keluar dari sudut hati
Menyambangi
pemilik senyum penuh arti
Malam-malam
kau lalui saja tanpa arti
Hanya angan
saja yang terlintas di bayang
Mimpi-mimpi
yang selalu membawamu terbang
Menghempasmu
dari kesadaran diri
Sering kau
bertanya
Untuk apa
kau simpan semua ini?
Apa kau
menunggu dirinya akan menyapamu dalam mimpi?
Sambil
berharap mengukir pipinya untukmu?
Menunggu
kerlingan matanya yang tajam menghunus dadamu?
Atau kau
akan berfikir
Burung-burung
itu akan menerbangkan suara hatimu?
Bangunlah.
Segeralah
kau pergi menghampiri
Tumpahkanlah
saratnya isi hati
Atau berhenti
Kenitra, 9
mei 2014
Getir
Entahlah
Angin dingin
malam ini sedang menyelimuti kota ini
Menghampiri
tubuh-tubuh lelah
Hinggap di
jiwa-jiwa gelisah
Setelah asa
indah harus musnah
Karena
harapan terlalu berlimpah
Sedang jiwa
dan raga belum terasah
Teriakan-teriakan
masih tengiang
Lantunan
semangat yang menggenang
Belum cukup
untuk membawa kita terbang
Lebih tinggi
dari setengah tiang
Dan lagi,
kita terhempas di batu karang
Oleh kerasnya gelombang
Ah, memang malang
Ini pelajaran dari Tuhan
Agar kita bisa belajar, untuk menang
Rabat, 26 agustus 2013
Hasrat
Aku
mendorong, aku mengerahkan
Gumpalan-gumpalan
untuk berjalan
Menelusuri
garis-garis yang sudah terbentang
Yang akan
kita pijak dan kita pegang
Menyusun
barisan kata untuk bergerak
Menghimpun
pikiran –pikiran untuk membidik
Mengurai
rasa, memberi kuasa
Menajamkan
mata, menegakkan kepala
Kemudian aku
menuju
Berjumpa
menemui titikku
Kenitra, 26
juli 2014
28 ramadan 1435
Jangan Panggil Aku
Tak perlu
berbisik jika akhirnya memekik
Tak usah
bernada bila ternyata mendera
Aku bermimpi
tentang keindahan
Tetapi yang
hadir adalah kegelisahan
Aku tak
perlu menoleh ke belakang, kepadamu
Aku tak
ingin kau mengeja dan merangkai namaku
Kita pernah
bertemu pada satu waktu
Kita sempat
berbincang tentang firmanMu
Barangkali
engkau bintang yang terlalu terang
Sedang aku
tenggelam dalam gelap
Aku
berteriak-teriak dengan kencang
Tetapi
sapaanmu tak pernah hinggap
Rabat, dini
hari 19 Agustus 2014
Kita Kepada Domba
Sejauh
apapun medannya
Akan
ditempuh
Seterik
apapun mentari
Akan
dihadapi
Mencari
rumput untuk kehidupan
Demikianlah
ia namakan perjalanan
Lalu, ia
rela dijadikan santapan
Oleh kita
manusia
Yang sering enggan
menggembala
Ia adalah
symbol pengorbanan
Ia adalah
contoh kehidupan
Dan kita
mesti berkaca
Seberapa
besar kita berbuat?
Seberapa
ingin kita belajar?
Setangguh
apa kita berjalan?
Kita mesti
belajar kepada domba
Kita mesti
bertanya kepada diri
Mampukah
kita menjalani titahNya?
Tetouan, 1
Juni 2014
Larut
Tak terdengar lagi teriakan
Kecuali
berisik jari yang aku ciptakan
Tak ada lagi yang aku lihat
Selain apa yang aku tambat
Semakin lama semakin hening
Semakin dalam aku memekik
Belum cukup hanya terbaring
Maka aku rangkai sebuah larik
Pekat, hening dan gemerlap
menjadi satu
Aku larut dan terpekur dalam
malamku
Memaknai setiap laku yang berlalu
Menatap setiap waktu yang berlaku
Rabat, dinihari 23 agustus 2014
Mau Kita Apakan Kemenangan ini?
Ramadan
pergi berlalu
Sampai jumpa
kita ucapkan
Semoga nanti
kembali bertemu
Dengan
kematangan yang (semoga) kita dapatkan
Selamat idul
fitri
Selamat
datang hari kemenangan
Waktunya
saling mengikhlaskan
Menumbuhkan
kembali jiwa yang fitri
Satu hari
penuh arti
Maknanya
berulang-ulang diperdengarkan
Kesuciannya
berkali-kali kita ucapkan
Semoga
kemenangan ini benar-benar dimiliki
Sedang, apa
yang diharapkan untuk esok?
Apa yang
akan dilakukan kini dan nanti?
Apakah satu
hari hanya menikmati berbagai “kebaruan”?
Apakah hari
fitri sesederhana kemenangan sebuah pertandingan?
Bagaimana
kita memperlakukan kesucian?
Bagaimana
kita memelihara fitri?
Apakah
setelah ini kita akan merusak diri lagi?
Mari
bertanya pada relung hati
Semoga Tuhan
selalu memelihara dan menyayangi
Kenitra, 30
agustus 2014
Malam 3
syawal 1435 H
Melihat Apa
Bapak guru,
ibu dokter dan pak polisi
Kalian
adalah para pengabdi
Ustadz, Kyai
dan ulama
Kalian
adalah para penjaga agama
Tukang sapu,
nelayan dan petani
Kalianlah
pemelihara ibu pertiwi
Bupati,
pejabat dan birokrat
Kalian
adalah pelayan rakyat
Pelajar dan
pemuda
Kalianlah
para penerus bangsa
Apa yang
mereka lakukan
Adalah apa
yang akan dirasakan
Apa yang
mereka perbuat
Adalah apa
yang akan dinikmati rakyat
Bukan
sebagai siapa mereka berdiri
Tak perlu
mengatakan siapa kepada negeri
Karena
rakyat butuh tindakan untuk dirasakan
Bukan nama,
gelar atau pangkat untuk disematkan
Barangkali
bolehlah rakyat muak dengan siapa
Begitu
banyak dari mereka tak berbuat apa-apa
Yang selalu
ingin rakyat adalah
Apa yang
mereka lakukan, tanpa kenal lelah
Kenitra, 19
Juli 2014 M
Malam 22
ramadan 1435 H
Membaca Jalan
Pagi
Semuanya
masih sepi
Hanya ada
sampah berserakan
Dan
daun-daun berguguran
Di jalanan
Lampu kuning
temaram
Menerangi
gelap di pagi buta
Sementara
kabut menembus
Setiap
pandangan mata
Pekat,
Dua-tiga
langkah kaki berjalan
Memaksa
manusia untuk waspada
Terik
Mentari mulai menatap
Menyinari bumi dan isinya
Sesekali menyengat
Setiap lalu lalng yang ada
Di setiap denyut nadi kota
Jalanan
Disitu ditampilkan pertunjukkan
Akan kau dapati
Tawa,duka,amarah
Akan kau rasakan
Semangat,gejolak dan cinta
Akan kau dengar
Keramaian,kebisingan
dan nyanyian
Hingga
keheningan
Di jalan,
Mata melihat
apa yang terjadi
Menyaksikan
apa yang dialami
Begitulah
kisah yang tercipta
Sampai senja
menjemput mereka pulang
Malam
Layar
kehidupan belum habis
Meski dingin
menusuk jiwa
Asap-asap
daging mulai membumbung
Suara-suara
gaduh pedagang mulai bertarung
Menyoraki
penikmat kopi
Di deretan
sepanjang jalan
Sebagin
menikmati waktu rehat
Sebagian
lain membuang waktu dan saku
Hingga lelah
Dan angin
malam menemani pulang
Meski kisah
setiap tanah
Tak akan
sama
Meski
manusia punya
Cara berbeda
Membuka dan
menutup
Lembar hidup
Manusia
hidup di bumi yang satu
Semua menuju
bahagia
Kenitra, 19
oktober 2013
Membuang
Debu di Tahun Baru
selamat tinggal
aku
akan pergi
kita
akan berpisah
tak
bertemu lagi
sejuta
peristiwa telah ku lalui
pahit
dan getir sudah ku nikmati
sukacita
telah aku arungi
sepanjang
tahun ini
aku
ingin membuang debu
yang
masih melekat di hati
aku
ingin menyapu kotoran
yang
telah hinggap dalam diri
sebelum
aku ayunkan langkah baru
sebelum
aku buka lembar baru
aku
ingin meminta ketulusan hati
kepada
setiap manusia yang telah aku lukai
seringkali
aku luput dan salah
yang
aku sengaja maupun tak aku sengaja
langit dan bumi bersaksi pada setiap laku
kepada matahari dan bulan
kepada sungai dan lautan
kepada
bukit dan gunung
kepada
ilalang dan gurun
kepada
seluruh jagat raya
maafkan
aku yang selalu menyakiti
kasih
sayang Tuhan selalu menghampiri
Kenitra,
8 Desember 2013
Menata Rindu
Jauh, Hilang, hingga
mati
Semuanya sama
Membuat semuanya seperti
sirna
Seperti bumi yang
kehilangan wajahnya
Yang berseri
Kita,
Seringkali
meratapi,menyesali
Mata,
Serasa tak mendapati
apapun yang ada di
hadapannya
Lalu kita obati
Kita rajut tali-tali
Sekuat-kuatnya
Meyakini setebal baja
Bahwa doa lebih dari
sekadar rangkaian kata
Dan air mata
Bukan hanya karena kita
tak kuasa
Tetapi
butiran-butirannya
Mengisyaratkan seluruh
asa
Tuhan Maha Merasa
Dialah Sang penata hati
Agar tegar,besar dan
berbinar
Kenitra, 3 Maret 2014
Mencari Wajah
Aku tak
ingin aku mencederai
Aku tak
ingin engkau membenci
Aku tak
ingin kita saling menghardik
Maka jangan
sampai kita saling membunuh
Aku
menganggap kami benar
Engkau
menyangka kalian benar
Dan nanti
kita sama-sama buktikan
Bukan untuk
menghabisi dan merendahkan
Mari biarkan
rakyat tahu
Tetapi tidak
dengan jalan palsu
Kita buka
mata hati
Dia akan
melihat dan meyakini
Haruskah nurani, harga diri dan ibu pertiwi
Ditepikan dari diri
Mestinya kita menyingkirkan kemenangan
Kita hadirkan kejujuran, keindahan dan keseimbangan
Kenitra, 6 juni 2014
Menuju
Mari berjalan
Melintasi padatnya
jalanan
Melewati riuhnya
keramaian
Mari berkata
Menumpahkan segenap rasa
dari dalam dada
Mencurahkan seluruh isi
kepala
Mari tersenyum
Untuk menyaksikan
kebahagiaan
Untuk merasakan
keceriaan
Untuk mensyukuri
anugerah Tuhan
Mari menangis
Untuk melukiskan
kesedihan
Dalam menyadari setiap
kesalahan
Demi memohon ampun
kepada Tuhan
Mari
bermimpi
Menembus
batas langit tertinggi
Menggempur setiap
tantangan
Kuatkan tekad dan
keyakinan
Mari berjuang
Meraih seluruh mimpi
Menyeberang seluruh
lautan
Mendaki di setiap bukit
Menerjang setiap ombak
dan batu karang
Mari
menyapa
Agar
hati tetap terbuka
Selalu tenang dan tunduk
Kepada setiap
kehendakNya
Tetap setia kepada titah
dan aturanNya
Kawan,
Manusia pada akhirnya
akan kembali
Selaksa peristiwa
hanyalah jalan
Kenitra, 8 desember 2013
Pandanganku
Manusia
punya banyak opini
Pada
tiap-tiap masa
Pada
tiap-tiap peristiwa
Dan itu
adalah niscaya
Bagiku, ini
adalah sikapku
Tentang apa
yang dilakukan manusia
Tentang
rangkaian ceritanya
Pahit, getir
dan manis senyumnya
Yang aku
gores adalah makna
Bukan
sekadar jengkal kata
Yang panjang
barisnya
Yang hanya
memoles rupanya
Bagiku, ini
adalah cintaku
Pada
manusia, pada kehidupannya
Pada rumput
hijau, pada rindang pohon
aku ingin
merebah diatasnya, berteduh di rindangnya
Ini bagian
dari hidupku
Dan aku ada
di dalamnya
Aku
menghidupinya, menghidupi pandanganku
Dia lebih
hidup dan abadi dariku
Kenitra, 31
Juli 2014
3 syawal 1435
Pilar Tak Lagi Kokoh
Orang-orang itu selalu
berkata
senyum tak pernah
berhenti
melumuri wajah
rintih nan lembut
menghiasi tutur kata
Bapak-bapak bangsa
Menumpahkan darah untuk merdeka
Sedangkan kami
Saling menumpah darah
dengan sesama
Memang kita berbeda-beda
Tetapi bukankah kita
Satu
Bahasa, Tanah Air,
Indonesia Raya
Pedoman sakti
Seperti kehilangan kaki
Sulit berpijak tegak di
bumi pertiwi
Sedang bapak-bapak
bangsa
Mengerahkan jiwa raga
Untuk menerbangkannya
Kesatuan
Yang dulu dirangkai
dengan selaksa pengorbanan
Kita ceraikan
pelan-pelan
Demi segelintir angan
Kini
Yang terjadi hari ini
Sungguh menggores hati
Para pendiri negeri
Para pembela ibu pertiwi
Kita tak usah membela
diri
Mungkin kita tak tahu
diri
Sementara kita hanya
dituntut berbakti
Tidak untuk berjuang
sampai mati
Ibu pertiwi
Maafkan kami
Yang tak berbakti
Yang telah mengoyak
hatimu
Yang menggenangkan air
mata
Yang menumpahkan darah
Di wajahmu yang berseri
Sekarang kami takut
Ditimpa kemarahanmu
Karena kini,
Pilarmu tak lagi kokoh
Karena kami sendiri
Yang menggempurnya
Tuhan
Tuntun kami
Menjaga dan mengasihi
bumi pertiwi
Beserta seluruh isinya
Kenitra,
4 Maret 2014
Potret Pena
Setiap
jemari memiliki arti
Setiap hati
mampu menerka
Setiap mata
mampu menjaga
Goresan
adalah titik temu selaksa cerita
Aku ingin
menyimpan
Seribu
bahkan sejuta
Untaian,
hembusan dan jejak langkah
Dalam sketsa
yang aku punya
Akan aku
lukis
Senyuman
para pengumpat
Rintihan
para pengemban
Ketegaran
para pejuang
Keteduhan
para penyejuk
Seribu wajah
penuh makna
Aku yakin
dan ingin
Tak ada
huruf yang sia-sia
Tak ada
titik terbuang percuma
Semuanya
mampu bercerita
Dengan
ribuan jalan yang berbeda
Kenitra, 22
April 2014
Refleksi
Roda-roda
yang bergulir
Membawa kita
kepada banyak perjalanan
Yang titik
akhirnya
Hanya Sang
Pemilik waktu yang tahu
Setiap aku
sapu pandanganku
Kepada
gerombolan daun yang terikat ramai
Ditunggui wanita
tua
Selalu
begitu hingga malam tiba
Meski tak
semuanya mengubah raut muka
Para penjaja
yang tiada henti
Berteriak
agar tangis anak istri terhenti
Balada
peminta-minta
Yang dipaksa
oleh nasibnya
Atau tak
punya alternatif cara
Pria paruh
baya
Yang tenggelam
bersama semangatnya
Tak ingin
ditelan kepahitan
Rela
bertaruh jiwa dan raga
Potret-potret
yang aku tangkap
Lembaran-lembaran
yang aku baca
Menggetarkan
hati dan mata
Ingin
rasanya aku memeluk sebuah tubuh
Yang tak
pernah mengeluh
Meski beban
meneteskan peluh
Bagiku,
Melihatmu
adalah sumber ketegaran
Kenitra,
dini hari, 6 Mei 2014
Sebuah Perjumpaan
Bagaimana
aku bisa merasakan hembusannya
Kemudian
terlelap membayangkan butir-butir cerita
Sesekali
terjaga menyadari keadaan
Bercik-bercik
air sedikit berbisik
Manusia
mendapati kehadirannya
Di sebuah
sudut yang dipenuhi peristiwa
Seperti
samudera
Yang
menyimpan seluruh kekayaannya
Matahari,
Mengawali
cerita di pagi hari
Burung-burung
menyambut
Kaki-kaki
langit mulai tampak
Waktu, juga
mata
Akan
sama-sama menyaksikan
Sebuah
sketsa tentang dua manusia
Yang
berbicara tentang diri mereka
Dengan
bahasa mereka
Pada satu
kehendak
Kenitra, 26
Juli 2014
28 Ramadan 1435
Sejuta Romantisme Kota
Tampak
ramai geriap para bintang
Diatas
mata petarung kota
Memandang,
meresapi hingga menantang
Selaksa
tembok raksasa menghadang jiwa
Menara
masjid menjulang di jantung keramaian
Tak
jauh dari sisinya gereja tua berdiri kokoh
Taman
segar berhias merpati adalah pertemuan
Sejuta
langkah, gairah dan wajah
Tumpukan
bata merah kokoh nan megah
Tak
lenyap ditelan kaca-kaca yang melahirkan amarah bumi
Hiruk
pikuk penuh bahasa pada wajah
Mengatakan
lakunya pada negeri ini
Sementara angin berbisik lembut dan
mesra
Menemani dua pasang mata penuh cinta
Sedang
rembulan menampilkan manisnya
Kepada
manusia dengan sejuta kisahnya
Di
Istana, Sang Raja menduduki singgasananya
di
jalan-jalan, ia menyapa rakyatnya
Cinta
rakyat selalu menaunginya
Semoga
Sang Raja selalu dalam lindunganNya
Di pembaringan kekal, para raja dan
pengabdi
Terlelap pulas usai baktinya tuntas
Pemuda dan pemudi sanggup meneguhkan
hingga nanti
Mampu melenyapkan hingga tak berbekas
Senja
di ujung samudera adalah diri
Bersinar,
meredup dan hilang
Hidup
bukan untuk memuaskan diri
Manusia
pergi untuk bersiap pulang
Rabat,
Shubuh 5 Agustus 2014
8
Syawal 1435
Semoga Tak Membuang Kata
Aku akan
menulis tentangmu
Menggambarkan
kehidupan manusia
Bicara
tentang pahit-getir hingga manisnya
Segala
peristiwa, pertarungan dan cinta
Namun aku
tak hanya ingin itu
Jemari-jemariku
tak sekadar menulis
Kalimat-kalimat
bersayap
Menghabiskan
banyak kata
Aku tak
mampu menghiasi kata
Seperti
mengikat peristiwa
Dengan
balutan yang mengada-ada
Maka biarlah
aku mengalirkannya
Aku selalu
ingin setiap kata yang kueja
Tak ada yang
sia-sia
Setiap
kalimat yang terbentang
Tak ada yang
terbuang
Kenitra, 26
Juli 2014
28 Ramadan 1435
Sepenggal Rahmat di Negeri Senja
Ramadan yang
mulia
Ramadan yang
membahagiakan
Begitulah
ungkapan kita
Di sela-sela
detik yang diberikan
Orang-orang
berjubah, berkerudung dan bersorban
Bergegas
tegas menuju paling utamanya peraduan
Bersimpuh,
mengaku dan memohon
Kami yang
sepanjang tahun berbalut keluputan
Gelapnya
malam selalu diramaikan
Oleh
jiwa-jiwa yang mencari kemenangan
Lantunan-lantunan
firmanMu saling berkejaran
Mereka turun
di malam seribu bulan
Semoga ini
bukan satu-satunya waktu
Meski memang
ini satu-satunya waktu
Dimana kasih
sayang Kau limpahkan
Kepada
seluruh penjuru jagat raya
Dan negeri,
Kau berikan sepenggalnya
Untuk kami
yang terus memohon dan meminta
Semoga ini
adalah titik mula
Untuk hati
agar tak berhenti menyapa
Kenitra,
Pagi 26 juli 2014
Pagi 28 ramadan 1435
Tentang Impian
Mari kita
saksikan perahu-perahu merambat di bawah terik
Menahanan
diri dari gaduh riuh dunia yang berisik
Cipratan-cipratan
ombak memercik
Di bibir
pantai, pasir-pasir asyik berbisik
Dibawah
siraman rembulan nelayan membawa bahtera
Menembus
ombak, menerjang badai yang menerpa
Kembali pada
pagi dengan jaring berisi harapan
Mendarat
lalu mengayun langkah dengan kemenangan
Seperti dia,
manusia menjemput masa depan
Rabat, dini
hari 19 Agustus 2014
Sepotong Senja
Dibalik
jendela
kereta yang
berhenti
langit
merekah
diatas
bukit-bukit
yang
bergandeng mesra
sementara,
angin
menampar-nampar
semakin
keras
bila semakin
lama
dan bulan
sudah mengintip
meski
manusia belum kembali
dari
panjangnya sebuah perjalanan
sambil
mengingat dan menyadari
setiap detik
dan detak yang penuh makna
Gare
Ksar El Labir,13 November 2013
menikmati
senja menuju tanger
Secangkir kopi, Sejuta harapan
Mulanya,
aku kira,
yang
bisa kubaca adalah
hanya
teks-teks, buku, kitab suci, surat kabar
atau
apapun yang berwujud tulisan.
Dan
dari wujud tulisan yang aku baca
maka
aku bisa menjadi tahu, menjadi pintar,
menjadi
pandai atau semacamnya.
Tetapi
pada kenyataannya,
firman
Tuhan tentang membaca
tidak
hanya kumaknai sebatas membaca teks saja
dan
kitab suciku tidak berhenti pada perintah
untuk
membaca saja
melainkan
sampai pada anjuran untuk merenungi firmanNya.
Meskipun
perenunganku terhadap kitab suci
ataupun
petuah nabi
tidak
seperti para cendekiawan muslim
yang mumpuni pada bidang-bidang ilmu yang
membantu
untuk
proses interpretasi teks-teks suci tersebut,
setidaknya
aku sedikit-sedikit bisa meraba-raba apa maksudNya.
Dan
memang tujuan interpretasi suatu teks adalah untuk mengetahui dan memahami apa
yang diinginkan teks tersebut.
Karena
tidak semua manusia bisa dan punya keinginan untuk menginterpretasi firman
Tuhan lebih dalam, maka Tuhan tidak menekankan itu sebagai sesuatu yang harus
bagi setiap manusia, cukup sebagian orang saja yang melakukan tuntutan itu,
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dan
Tuhan Yang Maha Pemurah dan Mengetahui pun tetap memberi apresiasi kepada siapa
saja yang membaca firmanNya, walaupun satu hari hanya satu ayat dan
mengkategorikannya sebagai bentuk ibadah seorang hamba kepada Tuhan.
Pepatah
mengatakan, dengan membaca kita mampu membuka jendela dunia.
Dunia
yang luasnya demikian itu bisa kita ketahui dengan membuka jendelanya, yaitu
membaca. Firman Tuhan yang pertama kali turun kepada Sang Penerang dunia,
Muhammad adalah mengenai urgensi membaca, dengan membaca manusia bisa
mengetahui apa yang sebelumnya tak diketahui, terlebih bagi manusia yang
mulanya tak mengetahui apapun. Melalui membaca, dia bisa menentukan sikap,
pandangan dan memberi gagasan.
Selanjutnya,
bagiku, membaca tidak hanya buku, tidak hanya kitab suci, tidak hanya teks dan
sebagainya. Aku diberi mata oleh Tuhan untuk membaca sesuatu yang lebih dari
sekadar tulisan, sekadar teks.
Tuhan
berfirman bahwa tanda-tanda kekuasaannya adalah segala hal yang ada di langit
dan bumi, bahwa segala hal yang ada di muka bumi patut kita baca, termasuk
isinya – manusia dan kehidupannya- dapat ditangkap oleh mata.
Jalanan,
bagiku adalah sesuatu yang sangat menggiurkan untuk ditonton, sesuatu yang
sangat menarik untuk dinikmati, sesuatu yang sangat nyata yang tersaji di depan
mata dan tentunya sesuatu yang sangat berharga untuk dibaca, dipelajari dan
diresapi.
Juga
di tepi-tepi jalan yang menangkap langkah-langkah manusia dan menanam
ciptaan-ciptaan manusia.
Di
tepi-tepi jalan itu berdiri congkak gedung-gedung tinggi para pemilik modal,
adapula barisan bank-bank penyedia bunga yang duduk dengan elegan menyimpan
kotak-kotak besi berisi kertas berharga yang bisa memenuhi kebutuhan manusia
atau bahkan menawar harga dirinya, deretan warung makan yang berdiri
berdesakkan karena sisa ruangnya diambil para pemilik modal, juga kafe-kafe
yang menjulurkan kakinya dengan santai tanpa memakan ruang pejalan kaki dan
masih banyak lainnya yang tak kalah pentingnya sebagai bagian dari roda
kehidupan manusia. Semuanya sangat menguras perhatianku untuk tak pernah
berhenti membacanya selagi mata terbuka.
Kafe,
adalah tempat dimana orang bisa menikmati waktu santainya untuk beristirahat
sejenak melepas lelah dari gerahnya kehidupan, dia juga adalah tempat
orang-orang berkumpul untuk membicarakan sesuatu yang serius yang bisa memeras
kepala agar terasa lebih ringan karena digelar di tempat yang tak ada papan
presentasi ataupun meja rapat, atau dia adalah tempat bagi para pelajar dan
mahasiswa melahap buku-buku pelajaran dan modul-modul perkuliahan untuk bersiap
berperang melawan “ancaman” ujian, sebagai tempat menyisihkan atau lebih
tepatnya membuang waktu bagi para juragan kontrakan, sekadar mencari jaringan wi-fi
gratis, tempat menonton bareng pertandingan sepakbola liga-liga eropa dan
kegiatan-kegitan bermalas-malasan lainnya.
Begitulah
yang dapat aku baca dari kafe-kafe yang ada di maroko.
Maroko,
disamping terkenal dengan sebutan negeri senja dan negeri seribu benteng,
maroko dikenal sebagai negeri seribu kafe – orang-orang indonesia khususnya
menyebutnya demikian – karena hampir di sepanjang jalan di pemukiman-pemukiman
di setiap kota di maroko terdapat kafe, dimana konsep ini meniru mantan
penjajahnya perancis, dimana kota-kota di perancis, khususnya paris, dihiasi
oleh kafe-kafe.
Menurut
pengamatanku mengenai kafe-kafe di maroko, kafe terbagi menjadi dua yaitu kafe
kelas menengah kebawah yang terletak di pinggiran dan kafe kelas menengah
keatas yang terletak di perkotaan.
Kafe
jenis pertama adalah kafe yang merakyat yang harganya sangat terjangkau dengan
fasilitas jaringan internet, yang menyediakan berbagai jenis minuman kopi dan
lainnya dan terkadang menyediakan makanan ringan untuk sarapan atau sekadar
cemilan.
Kafe-kafe
ini dapat dijumpai di sepanjang jalan di pinggiran kota.
Soal
harga kopi di jenis kafi ini semuanya sama, baik ukuran gelas besar atau kecil,
harganya 6 dirham.
Contoh
untuk kopi susu, baik ukuran gelas besar atau kecil harganya sama, yang
membedakan adalah ketika gelas besar maka susunya lebih banyak dari ukuran
gelas kecil.
Begitu
juga harga minuman lainnya seperti jus yang berharga 7 dirham segelas.
Kafe-kafe jenis ini juga menyediakan layar LED TV ukuran 34 inch lebih untuk
tontonan pengunjungnya, melihat mayoritas penduduk maroko adalah pecinta
sepakbola, setidaknya setiap kafe jenis ini menyediakan 4-5 TV .
Meskipun
kafe rakyat, LED TV dan jaringan wi-fi gratis adalah fasilitas wajib
demi memanjakan pengunjung. Sedang jenis kafe kedua yang berada di pusat-pusat
kota, harganya 2 kali lipat lebih mahal meskipun fasilitas hampir sama, hanya
lebih mewah dari kafe rakyat tadi, karena sasaran konsumen mereka adalah
golongan elite.
Dan
banyak dari kafe-kafe jenis ini didalamnya terdapat restoran yang menyajikan
makanan ringan dan berat.
Kafe-kafe
seperti ini menyajikan banyak jenis kopi dan minuman yang lebih variatif dan western
dari kafe rakyat, juga menu-menu
hidangan ala eropa dan barat tersaji disini.
Dan
yang sangat menarik mataku adalah kafe rakyat.
Aku
atau teman-temanku yang mahasiswa berbeasiswa pas-pasan ini tidak hanya
disuguhi secangkir kopi atau minuman lainnya yang siap untuk diminum.
Kita
disajikan berbagai menu lainnya untuk disaksikan, dihayati dan diresapi.
Menu-menu itu memang tak mengobati dahaga kita.
Menu-menu
itu memang tak bias mengusir lapar kita.
Dan
menu-menu itu bias kita hirup sebagai pelajaran yang ditransfer melalui
sepasang mata kita menuju ke pikiran kemudian bersemayam di hati untuk dikaji.
Betapa
di dalam kafe itu terdapat sangat banyak buku, guru dan pelajaran yang bisa
kita jadikan ilmu dan bisa menggugah, mempertanyakan, memengaruhi bahkan
mengubah sikap setiap manusia.
Pak
tua yang berprofesi sebagai tukang semir sepatu itu menawarkan jasanya kepada
setiap pelanggan yang duduk tentram menikmati secangkir kopi atau teh mint
sembari matanya mengawasi setiap pasang kaki yang mengenakan sepatu atau sandal
berwarna hitam yang dijadikan sasaran pekerjaan tangannya itu.
Meski tak setiap orang yang kakinya berpenampilan
demikian berkenan menerima jasanya.
Pria paruh baya yang menggendong keranjang berisi
kacang almond dan jenis biji-bijian atau kacang lainnya, menyodorkannya
kepada setiap pelanggan kafe untuk dijadikan teman ngopi atau teman
menonton.
Walau tak semua orang menerima pinangan kacang-kacang
itu atau hanya sekadar meminatinya barang 1-2 dirham saja.
Tak lama, bocah kecil yang menjajakan tissue pada
pelanggan untuk persediaan di toilet.
Sekadar informasi, model toilet tak seperti di
indonesia yang menyediakan gayung dan ember untuk buang air kecil atau besar,
disini hanya menyediakan tissue dan tidak semuanya menyediakan gayung
atau ember atau terkadang hanya closet saja dan kadang tidak menyediakan tissue.
Biasanya, bocah-bocah kecil yang menjajakan tissue itu tak berhasil menjual dagangannya atau
terkadang hanya satu dua bungkus seharga 1-2 dirham dan orang-orang di kafe
lebih memilih mengasihaninya dengan memberinya uang tanpa membeli barang
dagangannya.
Tak kalah semangat, pedagang pakaian singlet musim
panas yang berjuang keras menawarkan dagangannya kepada para pelanggan kafe
meski dia tahu hasilnya akan nihil karena mungkin mereka lebih memilih
membelinya di pasar atau di toko-toko atau di tempat dimana mereka bisa
mendatanginya sendiri atau kemungkinan yang paling besar bahwa para pelanggan
tak akan membawa uang banyak hanya untuk sekadar menikmati secangki kopi
seharga 6 dirham dan membeli singlet seharga 30-50 dirham.
Turut serta meramaikan perdagangan bebas kafe,
orang-orang afrika yang mayoritas masih terdaftar sebagai mahasiswa menawarkan iphone-iphone
cina baik baru maupun bekas atau pernak-pernik kalung dan gelang, dengan
semangat berlipat sembari waspada terhadap perlakuan yang akan diterimanya. Ya,
orang afrika disini masih diperlakukan diskriminatif oleh orang-orang arab.
Kalian tentu tahu bagaimana caranya bertindak
diskriminatif terhadap orang yang berbeda suku atau bangsa.
Sebagian dari mereka yang melakukan hal demikian itu,
katanya, adalah orang-orang yang menghabiskan uang beasiswanya untuk
berfoya-foya. Entahlah, aku tak tahu menahu sebab-musabab itu. Juga -yang aku
tak tega menyebutnya- peminta-peminta dengan berbagai macam keluhan yang
diembannya yang melengkapi bacaan alamiku.
Dan dari tiap-tiap bacaan alami yang terbuka di depan
mata itu setidaknya mengajarkanku tiga hal yaitu kepekaan, kepedulian dan
keinginan untuk bertindak sesuatu.
Itu yang selalu tersaji pada setiap pelajaran apapun,
menurutku.
Pelajaran-pelajaran itu mengajarkan kita untuk selalu
berbuat apapun untuk sebuah harapan.
Aku benar-benar dituntut belajar lebih dari sekadar
menghafal berbagai macam kaidah dan teori ilmiah maupun spiritual.
Aku lebih dekat kepada langkah yang mengisyaratkan
untuk berjalan untuk mencapai sesuatu yang aku inginkan atau aku hanya
menghentikan langkah karena merasa sudah cukup aku punya kaki yang bisa
berdiri.
Atau sama seperti aku lebih dekat untuk bisa melihat
apa yang sesungguhnya terjadi daripada sekadar mengetahuinya lewat membaca
berita di koran atau menyaksikannya di televisi.
Entah apa namanya implikasi-implikasi yang aku rasakan
itu, yang jelas semua yang aku lihat adalah mengenai banyaknya cara untuk
menyambung hidup.
Baiklah, coba kita lihat bahwa satu kafe, tiap harinya
menjadi saksi puluhan orang yang keluar masuk menyambung hidup dengan
pekerjaannya masing-masing, di hadapan ratusan lainnya yang punya kondisi hidup
yang lebih baik dari mereka.
Seorang anak kecil yang menawarkan tissue tidak lain
bertujuan untuk mencukupi, memenuhi atau mengganti posisi orangtuanya dalam hal
ekonomi mereka.
Kemungkinan pertama adalah mencukupi kebutuhan hidup
dipastikan bahwa penghasilan orangtuanya tidak mencukupi seluruh isi rumahnya
karenanya si bocah itu mengorbankan pendidikannya yang seyogyanya ia tempuh
(meskipun pendidikan di maroko bebas biaya dari pendidikan dasar hingga
perruruan tinggi jenjang doktoral) tetapi tidak dengannya karena penghasilan
orangtuanya tidak cukup untuk membeli perlengkapan sekolahnya.
Namun, dengan pengorbanannya setidaknya bisa membantu
meringankan beban pemenuhan kebetuhan keluargnya.
Dan yang kedua, bahwa tugas dia bukanlah menutupi
kekurangan penghasilan atau mencukupi kebutuhan keluarganya tetapi dialah yang
memenuhi kebutuhan keluarganya alias mengganti posisi orangtuanya dalam mencari
nafkah untuk keluarga yang diakibatkan kondisi orangtuanya yang tidak
memungkinkan untuk bekerja atau meninggal dunia.
Jelas tugas ini lebih berat terlebih jika masih ada
adik-adiknya yang kecil yang juga semestinya masih membutuhkan kasih sayang
orangtuanya.
Atau kemungkinan ketiga adalah si bocah itu bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan kenyataan bahwa dia adalah
anak gelandangan yang tidak punya siapa-siapa lagi. Itu adalah sebagian dari
cara menjaga kelangsungan hidup, seperti yang dimaksudkan oleh ajaran agama.
Dan dibalik itu, tentunya ada keinginan untuk mengubah nasib diri dan
keluarganya untuk lebih baik. Dengan tercukupinya kebutuhan hidup, dia dan
keluarganya dapat makan yang cukup dan bergizi, berkehidupan layak, mendapatkan
layanan kesehatan yang baik dan bisa mengenyam pendidikan yang baik dan layak.
Dan sekeping uang 2 dirham dari kita bisa mengantarkan
bocah itu untuk mendapatkan semua mimpinya dan mewujudkan semua harapannya tentang
bagaimana merasakan makanan yang baik setiap hari, bagaimana nikmatnya belajar
bersama teman-teman di sekolah dan merasakan segarnya tubuh yang sehat dan
kuat.
Dan seringkali mengeluarkan sekeping 2 dirham adalah
ujian berat bagi kita atau bahkan menyepelekannya begitu saja atau bahkan kita
sama sekali tak menggubris kehadirannya?
Bocah itu adalah bagian dari apa yang dikatakanNya
dalam anjuranNya untuk bersedekah, bahwa sebagian dari harta kita adalah milik
mereka, bahwa sebagian harta kita dianjurkan untuk disedekahkan kepadanya.
Ya, meski itu bukanlah sebuah kewajiban yang dituntut
Tuhan tetapi apa yang kita lihat?
Apa yang kita lihat hanya sekadar anjuran maka kita
sah-sah saja tak mengindahkannya?
Ataukah kita merasa tak butuh dengan apa yang ditawarkannya
kepada kita? Dan ataukah ada kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak
menggunakan hati untuk merasakannya?
Itu semua pilihan yang tersaji untuk kita.
Untuk mata kita apakah mau melihat, untuk akal kita
apakah mau berpikir dan untuk hati kita apakah mau merasa.
Mungkin aku, yang seringkali melihat bocah-bocah
seperti itu atau siapapun yang sama dengannya masih belum benar-benar bisa
untuk benar-benar membantu, meski aku melihat,berfikir dan punya kepekaan.
Tetapi setidaknya, jika kita mau merasakan pelajaran
itu dengan baik, kita masih mau menggunakan hati kita dengan baik.
Dan aku masih berada dalam tahap mencoba merenungi
pelajaran-pelajaran itu sembari aku memberi sesuatu untuk pelajaran itu.
Bahwa aku tidak hanya duduk tentram sambil menyeruput
secangkir kopi. Sungguh kafe bukan sekadar tempat untuk menikmati secangkir
kopi. Secangkir kopi menjadi saksi sampai manakah pelajaran yang kita dapat dan
sudah berapa dari pelajaran itu bisa kita aplikasikan.
Dia menjadi saksi kejujuran hati kita kepada hidup
yang beraneka rasa seperti jenis-jenis kopi yang disajikan waiter,
kejujuran untuk meminum kopi pahit dalam keadaan manis dan meminum kopi susu
dalam kondisi yang tak menentu.
Secangkir kopi itu mendatangkan sejuta hal yang bisa
kita raih dengan jalan yang berwarna-warni, bermacam rasa dengan tingkatan
kekentalan dan kelembutan yang bervariasi sesuai takaran yang diinginkan,
menghadirkan aroma-aroma yang membangkitkan asa, yang bernama harapan.
CATATAN TENTANG NEGRIKU
0 komentar:
Posting Komentar