KONSEP TENTANG ALLAH
OLEH: SUTEJA
A.
Pandangan Failosof dan
Ahli Kalam
tentangTuhan
Adalah kewajiban setiap orang
yang menghargai akal fikirannya untuk mencari bukti-bukti adanya Tuhan dengan perhatian
utama tentang keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Ada tiga pendekatan
setidaknya untuk mencapai pengetahuan dan melakukan pembuktian tentang adanya
Tuhan. Pertama, pendekatan Filsafat, kedua pendekatan Kalam atau Teologi, dan
ketiga pendekatan Tasawwuf atau
Mistisisme.[1]
Kajian tentang
Tuhan bukan hanya masalah dogma atau kepercayaan yang tidak bisa dibuktikan
kebenarannya dengan akal pikiran, melainkan kepercayaan yang berakar kepada
pengetahuan yang benar, yang dapat diuji melalui logika akademis.[2] Ketuhanan
adalah kebenaran logis yang dapat dibuktikan dengan kaidah-kaidah logika.
Setiap bangsa yang dikaruniai kecerdasan akal pikiran dan kemajuan ilmu
pengetahuan tidak akan berhenti mencari, menemukan dan meyakinkan adanya Tuhan.
Kajian tentang Tuhan merupakan filsafat murni yang mengajarkan manusia agar
supaya dapat mengenali Tuhan.
Pengetahuan
tentang Tuhan atau Ketuhanan dapat mengetahui kelemahan dan kebatilan
faham-faham atheis dan materialis yang hanya mempercayai adanya
benda-benda fisik yang nyata. Dengan argumen akal Filsafat Ketuhanan membantu
manusia dapat terhindar dari taqlid dan sebaliknya bersifat kritis.
Sehingga keimanan kepada Tuhan bukan hanya berdasarkan dogma-dogma melainkan
didukung oleh kekuatan logika dan rasio. Keimanan yang didukung oleh rasio akan
menghasilkan aqidah atau keyakinan yang kokoh dan tidak mudah digoyahkan oleh
isme-isme yang berlawanan dengan kemurnian monotheisme (tawhîd).
Filsafat Ketuhanan, dengan metode
dan sistematikanya dapat mengantarkan akal kepada penemuan yang pasti tentang
adanya Tuhan. Membantu memahami sistem dan metode para filsosof dalam
perjalanannya mencari, menemukan dan membuktikan adanya Tuhan.
Hipotesis tentang adanya tuhan
itu sendiri bukan merupakan hasil akal pikiran seorang pujangga, akan tetapi merupakan hasil dari pengalaman
bertahun-tahun dan bahkan berabad-abad ketika manusia berjuang melampaui
kegelapan spiritualisme dan polytheisme sampai kepada tingkatan
yang tertinggi. Ia juga bukan semata-mata hasil dari teori filsafat yang
diambil dari sana sini, melainkan anggapan yang telah diuji kebenarannya oleh
beberapa tokoh-tokoh besar yang kompeten yang lebih mementingkan kerja daripada
berfikir.[3]
Kesulitan terbesar dalam argumen
ontologis tentang eksistensi Tuhan terletak kepada argumen itu sendiri yang
tidak benar karena orang bisa saja menganggap argumen itu memang tidak
benar. Kesulitan itu justru terletak
dalam soal apakah isi (content) argumen itu berguna jika dilakukan
penelitian padanya.
1. Pemikiran Failosof tentang Tuhan
Tuhan yang dimaksudkan dalam hal
ini adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang
memiliki kekuasaan dan kasih sayang. Konsepsi ini lebih mudah dipahami. Tuhan
yang Hidup, tujuan kita ibadati, yang
dapat kita ketahui walaupun tidak sepenuhnya. Tuhan yang dimaksud ialah Tuhan,
seperti dikemukakan oleh Pascal (1623-1662 M.),
tuhannya Nabi Ibrahim as., Ishaq as., Ya’qub as., dan bukan tuhannya
para filosof.[4]
Dalam sejarah Filsafat Greek
(Yunani) kurang lebih dua ratus tahun sebelum Plato telah disebut-sebut tentang
Tuhan, sebagai reaksi terhadap kepercayaan adanya dewa-dewa yang lahir dari
berhala Olympus yang bersifat manusiawi sehingga dzat Tuhan tidak hidup. Plato[5]
menyebutnya The God untuk Tuhan Yang Baik tetapi tidak pernah ia
menyebut tentang Tuhan Yang Hidup. Sedangkan Aristoteles menganggap Tuhan
sebagai dzat yang memberi arti kepada alam akan tetapi ia tidak menunjuk kepada
bukan Tuhan yang dapat disembah dan diibadati. Tuhan bagi Artistoteles adalah it
dan bukannya he.
Mengenal
Tuhan adalah karakter dasar setiap jiwa. Mengingkari adanya Tuhan hanyalah
pemerkosaan terhadap tabiat manusia. Menurut Hamka,[6]
sejak berabad-abad yang lalu para filsosof mencoba memisahkan antara Ilmu
Fisika dengan Metafisika dan kemudian membicarakan tentang zat Tuhan, yakni setelah
keadaan dan rahasia alam atau cosmos. Mereka memberi nama dengan beragam
sebutan untuk menunjuk kepada Tuhan seperti Pencipta, Akal Pertama, Sebab
Pertama, Penggerak Pertama, Puncak Cita, Penggerak yang tidak digerakkan dan sebagainya. Tetapi, perjalanan pemikiran
para filosof tidak segera dikonfirmasikan dengan wahyu yaitu agama.
Bagi
kaum platonis, Tuhan berada lebih jauh daripada yang bendawi. Hakikat
Tuhan tidak dapat dikenali, namanya tidak dapat diciptakan dan sifat-sifatnya
tidak dapat dimengerti.[7] Plato
meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta sebagai Sebab dari segala sebab.
Menurutnya,[8] setiap
benda yang terjadi mesti ada yang menjadikan. Dalam dunia kita setiap kejadian
mesti didahului oleh proses sebab akibat. Di belakang sebab-sebab yang
merupakan rangkaian tentu ada sebab yang pertama yang tidak disebabkan oleh
yang lain dan sebab yang pertama itulah yang dinamakan Tuhan. Dia mengakui
Tuhan sebagai esensi yang adil dan sempurna. Tuhan, menurutnya, adalah
Penggerak Pertama, Pengatur, Abadi dan tidak berubah, serta selalu hadir dalam
kehidupan manusia.[9]
Di hadapan Aristoteles (384 – 322
SM.) Tuhan adalah Penggerak Pertama. Dialah yang menyebabkan gerak yang abadi,
yang sendiri, dan tidak digerakkan
karena bebas dari materi. Tuhan
adalah “Sebab” dari segala sebab dan
“Tujuan” dari segala tujuan. Tuhan
adalah Actus Purus.[10]Setiap
gerak, menurutnya, menunjukkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai
potensi ke apa yang ada secara terwujud. Oleh karena itu setiap
gerak menunjukkan perubahan. Untuk itu kemudian diperlukan adanya penggerak
yang dari dirinya telah ada kesempurnaan, yang tidak perlu disempurnakan, yang
tidak digerakkan oleh penggerak lain. Kekuasannya tidak terhingga dan bersifat
kekal. Penggerak pertama itulah yang tidak berasal dari dalam dunia, sebab di dalam jagat raya ini setiap gerak
digerakkan oleh sesuatu yang lain.
Setiap
gerak bagi Aristoteles menuju kepada sesuatu tujuan. Bagi setiap benda tujuan
perbuatan geraknya adalah menyempurnakan bentuknya sendiri. Semua yang ada di
jagat raya ini bergerak mengelililingi bumi. Tujuan gerak segala yang ada bukan
untuk mencapai kesempurnaan. Tetapi untuk menuju kepada Penggerak, yang
tidak digerakkan yang tidak berada di dalam ruang yang terbatas, yang tidak
bersifat badani, yang menggerakkan segala alam di jagat raya. Dialah Tuhan.[11]
Philo
(30-50 SM.), seorang filosof beragama Yahudi berpendirian bahwa Tuhan memiliki
kesamaan dengan tuhan yang dikaji di dalam Ilmu Kalam atau Theologi Islam.
Baginya Tuhan adalah tokoh yang adikodrati yang secara mutlak berbeda
dengan kosmos dan harus dibedakan dengan kosmos. Sebab Tuhan
adalah Roh yang transenden. Dia tidak
dijadikan, tidak memiliki sifat-sifat manusiawi, tidak dapat dikatakan
“bagaimana” (kayfa), tidak berwujud dan tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu.[12] Manusia hanya bisa tahu bahwa Tuhan ada
tetapi manusia tidak tahu apakah Dia itu. Baginya,[13]
Tuhan adalah Sang Ada (Ho On). Dia itu Esa, tidak tersusun dari
bagian-bagian, memiliki kesempurnaan tertinggi, keindahan yang asli, kebaikan
yang mutlak dan kemahakuasaan.
Appolonius,
murid Phytagoras yang hidup di abad pertama, berpendirian bahwa Tuhan itu ada,
tidak digerakkan, realitas yang sempurna, substansi yang tidak berjasad, dan
pengendali eksistensi segala sesuatu. Dialah asal segala realitas. Dia terlalu
jauh dan terlalu tinggi dari manusia. Dia tidak terhampiri dan karena itu tidak
dipuja.[14]
Plotinus
(284-269 M.), meyakini bahwa Tuhan itu Esa secara sempurna. Katanya, Dia tidak
dapat dibandingkan dengan apapun juga. Akal manusia tidak dapat menembus sampai
kepadaNya, karena di dalam akal terdapat kendala yang menjadi penghalang yaitu
adanya objek dan subjek. Oleh karena itu, sebagaimana pendirian filosof
sebelumnya yaitu Philo, katanya, eksistensi atau keadaan Tuhan tidak dapat
diuraikan “bagaimana”. Pada Tuhan tidak ada prediket atau sifat.[15]
Klemens
(150-215 M.), salah seorang tokoh filsafat Zaman Patristik di Iskandaria,
berpendirian sama dengan Aristoeles. Menurutnya Tuhan adalah Sebab
segala sesuatu. Tuhan adalah transenden, yang tidak dapat dimengerti. Dia tidak
bertubuh, Dia Esa serta tidak berubah. Dialah Pencipta segala sesuatu,
baik yang bersifat rohani maupun yang bersifat bendawi. Tentang pekerjaan Tuhan
menurutnya Dia tidak pernah menganggur walaupun dunia ini belum ada. Baginya,
pekerjaan Tuhan sudah ada sebelum ada alam dunia ini. Tuhan, menurutnya, sudah
bekerja menciptakan dunia yang lain yang mendahului dunia kita dan menciptakan
dunia setelah dunia kita.[16]
Basilius Agung
secara tegas memberikan perbedaan prinsipil antara Tuhan dengan ciptaan Tuhan.
Tuhan, katanya, sebagaimana dalam aqidah islamiyah, tidak berawal sedangkan
ciptaan Tuhan berawal. Awal dunia adalah waktu tetapi, katanya, Tuhan tidak
dikuasai oleh waktu karena perbuatan Tuhan terjadi di luar waktu.[17]
Bagi Aurilus
Agustinus (354-430 M.), pengetahuan manusia tentang hakikat Tuhan sebenarnya
merupakan ketidaktahuannya tentang Tuhan. Manusia tidak tahu “Tuhan itu
apa”, tetapi manusia hanya dapat
mengatakan “Tuhan itu bukan apa-apa”. Baginya, Tuhan tidak dapat dimasukkan ke
dalam kategori-kategori yang dimiliki manusia. Tuhan adalah Roh Yang Esa, tidak bertubuh, tidak berubah,
tetapi berada di mana-mana dan meliputi segala sesuatu. Agustinus kembali mengemukakan tentang
kelemahan manusia tentang hakikat Tuhan. Menurutnya, manusia tidak dapat
mengenal Tuhan secara sempurna, karena tidak ada satupun dari ciptaan Tuhan
yang berada di atas-Nya. Pekerjaan Tuhan adalah menciptakan sesuatu dari tidak
ada menjadi berada. Jagat raya adalah hasil kehendak Tuhan semata-mata tetapi
bukan keluar dari zat Tuhan. Hanya
Tuhanlah yang merupakan Sebab Awal.[18]
Filsafat abad
pertengahan diwarnai oleh ide-ide Skolastik. Diantara tokoh Skolastik yang
berbicara tentang Tuhan ialah Anselmus
Canterbury (1033-1109 M.). Dalam pandangannya, Tuhan, dengan dasar keimanan,
pasti ada dan lebih dari apa yang kita pikirkan. Tuhan itu ada tetapi adanya
Tuhan bukan karena kebenaran iman melainkan atas dasar iman.[19]
Thomas Aquinas
(1225-1274 M.), termasuk penerus ide-ide Aristoteles lewat Albertus Agung, yang
filosof yang mengajarkan theologia naturalis. Ia berpendapat bahwa manusia
dengan akalnya dapat mengenal Tuhan. Tentang hakikat Tuhan ia berpendapat
bahwa, Dia adalah actus purus atau
aktus murni yang sempurna adanya. Dialah Penggerak Pertama, Sebab Utama dan
Yang Mutlak.[20]
Baginya
pengetahuan tentang Tuhan merupakan pengetahuan yang paling tinggi karena ia
membukakan tabir rahasia Tuhan.
Pengetahuan ini, menurutnya, hanya dapat diperoleh dari Kitab Suci dan
berada di luar kemampuan akal manusia. Pengetahuan ini merupakan anugerah (gift)
Tuhan yang kemudian melahirkan keimanan karena telah diterangi oleh cahaya
Tuhan dan dapat mendorong manusia untuk mengakui kebenaran yang terdapat di
dalam Kitab Suci.[21] Tuhan
dengan segala kehendak-Nya memiliki kebebasan besar untuk menciptakan alam
semesta, kapanpun Ia mau. Tuhan juga bebas untuk tidak menciptakan sesuatu.
Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaannya karena cinta-Nya.[22]
Issac Newton
(1642-1727 M.), ahli fisika dari Inggris yang mahir tentang gerak, dalam
hidupnya mempercayai adanya Tuhan. Ia menyatakan bahwa pergerakan
bintang-bintang yang ada sekarang tidak mungkin terjadi secara kebetulan begitu
saja. Untuk menempatkan planet-planet
berada dan berputar pada tempatnya di sekeliling matahari dalam gerak dan garis
tertentu, perlu ada tangan Tuhan supaya selamanya berada pada poros yang sudah
ditentukan untuk tiap-tiap planet.[23]
Immanual Kant
(1725-1804), filosof berkebangsaan Jerman yang terkenal lewat kritisisme-nya,
berpendapat bahwa bukti-bukti klasik yang dikemukakan tentang adanya Tuhan
memang tidak dapat meyakinkan orang tentang adanya Tuhan. Tetapi tidak
merugikan kepercayaan agama dan bahkan membantunya. Kant justru ingin
meyakinkan adanya Tuhan dengan pengalaman-pengalaman moral (moral
experiences). Kant menyatakan bahwa,[24]
jiwa yang bermoral menghendaki tercapainya kesatuan antara keutamaan (virtue)
dengan kebahagiaan (happiness) danmenjadi kebahagiaan tertinggi (sumun
bonum). Persatuan ini, menurutnya,
tidak akan dapat terlaksana jika hanya mendasarkan diri pada
materialisme. Sebab, keutamaan dan kebahagiaan adalah dua hal yang memiliki
tempat berbeda. Keutamaan berada dalam kawasan maknawi (intelligible)
dan kebahagiaan menempati kawasan duniawi (phenomena). Oleh sebab itu,
kita harus percaya kepada Tuhan yang akan memungkinkan tercapainya penyatuan
tersebut.
Argumennya yang
lain tentang adanya Tuhan dalam pandangan Kant adalah dengan jalan mengemukakan
argumen keindahan. Keindahan adalah salah satu bukti yang sama pentingnya
dengan pengetahuan (knowledge) dan kebaikan moral (goodness) dan
dapat meyakinkan tentang adanya Tuhan. Pengalaman jiwa dalam seni tidak kurang
jelasnya daripada pengalaman jiwa dalam ilmu pengetahuan (science).
Keindahan adalah hubungan harmonis
antara unsur-unsur realitas.[25]
Kebenaran tidak
selalu menyampaikan atau mengantarkan kita kepada bertambahnya kebenaran.
Tetapi, keindahan selalu memberikan nilai tambah kepada kebenaran. Seorang
seniman memiliki perasaan yang sama terhadap benda-benda alam tetapi seniman
dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat orang biasa dan seniman mampu
menunjukkan hal-hal yang harus diketahui oleh orang lain.
Bukti-bukti di
atas semuanya didasarkan atas pengalaman manusiawi. Tetapi objeknya bukan
manusia. Bukti-bukti science mempelajari susunan alam, bukti-bukti etika
atau moral mempunyai susunan norma susila, aspek estetika atau keindahan
mempelajari keharmonisan dan bukti sejarah yang dapat memaparkan kenyataan
bahwa Tuhan bisa dirasakan secara langsung. Keempat macam bukti tersebut saling
memperkuat satu degan lainnya, akan tetapi akan jauh lebih kuat jika dibantu
dengan penelitian-penelitian atas dasar pengalaman inderawi. Argumen yang
didasarkan kepada panca indera ini disebut argument empirical.[26]
Argumen
empirik merupakan bukti yang memperkuat bukti-bukti lain yang telah lalu.
Sebab, untuk membuktikan adanya Tuhan dengan argumen itu diperlukan sekali oleh
manusia sekarang yang hanya mempercayai apa yang dirasakan oleh panca indera.
Argumen empirik berbeda dengan concencus
gentium atau konsensus umum.
Pemikiran tentang
Tuhan dalam filsafat Yunani merupakan suatu kesalahan. Karena pemahaman itu
akhirnya tidak dapat mempertahankan perbedaan antara Tuhan dengan alam. Ia juga
hanya melahirkan mistisisme dan tidak mempunyai isi yang mempertinggi
moralitas. Dalam agama bangsa Yunani tidak ada konsepsi yang hidup tentang
Tuhan. Tuhan hanya dianggap sebagai hal
rohaniah.[27]
Pemikiran Plato
tentang Tuhan sebagai Sebab Pertama (First Cause, المحرك الأول) untuk zaman semodern ini
akan mengalami kesulitan. Kesulitan pertama,kita tidak akan mendapatkan
keyakinan bahwa sebab yang pertama sebagai hasil dari bukti ini merupakan dzat
yang bersifat rahman dan rahim yang kita sembah dan kita
agungkan. Kedua, orang-orang modern tidak yakin akan perkataan sebab (causality).
Meskipun demikian bukti cosmological
itu tetap merupakan bukti penting. Selain itu, perkataan Tuhan hanya
mewujudkan hal-hal yang tidak berarti. Tuhan hanya dianggap sebagai Sebab
Pertama yang diperlukan oleh akal manusia untuk memahami mesin dunia. Tetapi,
Tuhan bukan merupakan faktor penting yang aktif dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan itu, bukan Tuhan yang dapat disembah dan dimintai.
Sejak Aristoteles khususnya pemikiran tentang adanya Tuhan
merupakan pemikiran yang murni, sebagai reaksi terhadap kebutuhan untuk
terbebas dari pemujaan terhadap dewa-dewa atau mistik. Tetapi, di hadapan
Aristoteles[28] masalah
ketuhanan tidak mendapatkan posisi yang jelas dalam filsafatnya dan tidak
memberikan implikasi terhadap pemikiran dan ide-ide tentang etika dan politik.
Neophytagoras bahkan lebih
tegas membedakan antara Tuhan dengan hal-hal yang bersifat materi. Baginya
Tuhan tidak memiliki hubungan sama
sekali dengan dengan hal-hal yang bersifat bendawi. Philo (30 SM.-50
M.), filosof Yahudi, bahkan cenderung mengajarkan ajaran Musa tentang Tuhan
sebagai yang tidak bisa dipersamakan dengan apapun selain-Nya. Tetapi
sayang, ia tidak bisa terbebas dari
doktrin trinitas Kristen tentang Tuhan yaitu doktrin adanya logos. Tampaknya, Philo berhasil mengawinkan
ajaran-ajaran Yahudi dengan Filsafat Hellenisme sehingga ajarannya tentang
Tuhan berbeda sekali dengan Kitab Suci Yahudi.
Thomas Aquinas
(1225-1274 M.) adalah tokoh Skolastik yang dikenal dengan metode Quince
Vince-nya, sebuah metode yang menghasilkan kesimpulan “Ada Tuhan”.[29] Dia dikenal sejajar dengan Ibnu Sina; yang
berhasil memadukan Filsafat Yunani dengan Filsafat al-Juwaini.[30] Pemikiran filsafat Aquinas adalah filsafat
yang orisinal dan merupakan sintesa pemikiran Aristoteles dan
Augustinus-Neoplatonisme. Ia tidak menerima pembuktian ontologis seperti yang
dilakukan Anselmen.[31] Tetapi,
Aquinas mendasarkan filsafatnya kepada kepastian adanya Tuhan. Argumennya diangkat dari sifat
alam yang bergerak. Argumen ini disebut
argumen gerak.[32]
Argumen Anselmen untuk masa sekarang dinilai tidak dapat
menimbulkan keyakinan kepada orang karena pada pokoknya argumen itu hanya
menggambarkan cara berfikir sebelum lahirnya pengetahuan yang baru.
Pengetahuan tentang
Tuhan merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh mind yang tidak terbatas
tentang dzat yang menjadikan benda-benda. Pengetahuan tentang Tuhan sama dengan
pengetahuan tentang nilai, akan tetapi mengandung kesadaran tertentu tentang
realitas yang konkrit dan bukan realitas yang abstrak. Pengetahuan tentang
Tuhan sangat berbeda dengan pengetahuan tentang benda, pengetahuan tentang
pikiran orang lain, pikiran tentang pikiran diri sendiri dan pengetahuan
tentang nilai-nilai. Kesemua pengetahuan
itu sendiri sebenarnya merupakan keanehan, tetapi pengetahuan tentang Tuhan
lebih sangat mengherankan.
Jalan menuju
pengetahuan tentang adanya Tuhan tidaklah satu dan juga tidak sama. Realitas
itu sangat besar dan kompleks dan kemungkinan manusia untuk melakukan kesalahan
besar sekali. Karenanya, manusia dituntut mempergunakan segala macam jalan atau
cara untuk sampai kepada pengetahuan tentang adanya Tuhan.
Kepercayaan
terhadap adanya Tuhan perlu diterangkan dan dibuktikan. Bahwa “Tuhan itu ada”
tidak hanya sesuatu yang terdapat di dalam pikiran (mind) manusia saja,
akan tetapi menunjukkan bahwa dzat yang dinamakan Tuhan itu berwujud yang
objektif, yaitu sudah ada sebelum kita sadar akan adanya Tuhan dan Dia sampai
sekarang tetap ada terlepas apakah manusia sadar atau tidak sadar.
Terhadap
orang-orang yang memiliki perasaan keagamaan mendalam perlu diajukan
pertanyaan: apakah Tuhan yang disembah hanya merupakan hasil dari cita-cita
atau kemauan ataukah memang lebih dari sekadar kemauan dan cita-cita. Tuhan
bukan sekadar idea tetapi merupakan realitas. Perkataan Garuda misalnya
merupakan idea yang sangat terang tetapi tidak merupakan realitas. Mereka harus
menyadari apakah yang mereka tuhankan hanyalah idea, seperti perkataan
Garuda, ataukah benar-benar realitas. Pemahaman tentang tuhan sebagai idea
tidak lain hanyalah bayang-bayang yang tidak berisi dan bukanlah personalitas
kuat yang terdapat dalam doktrin agama. Oleh karenanya mereka hanya
mementingkan mengenai sifat-sifat Tuhan daripada soal wujud tuhan. Kepercayaan demikian
merupakan kepercayaan yang kabur.
Ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu kealaman
bukannya memperkecil kepercayaan kepada Tuhan, akan tetapi justru mempermudah
kita untuk mempercayai adanya Tuhan. Alam yang
kita lihat dengan kacamata ilmu pengetahaun modern tidak
akan dapat ada, kecuali dengan geraknya sumber energi yang berada di
luar alam dan alam tidak akan dapat langsung berwujud dengan sendirinya.
2. Pandangan Ahli Kalam tentang Allah
Sistem
kepercayaan itu pada mulanya berkembang dari gabungan antara teks suci atau
wahyu dimulai dengan penggunaan teks itu secara sederhana tanpa
tindakan-tindakan teoritisasi. Pada tahap selanjutnya ia berkembang menjadi
bermacam-macam topik tanpa memunculkan suatu tema umum seperti transendensi (tanzih) dan penyucian (tasybih) dan
sebagainya. Pada fase terakhir ia telah
terbentuk berdasarkan dua kutub utama yaitu Tuhan dan Nabi-Nya.[33]
Pembahasan tentang Tuhan dalam
wacana kepercayaan-kepercayaan raional lazimnya membahas tentang dua tema
sentral yaitu keesaan dan keadilan Tuhan.
Tema sentral pertama berusaha menyingkap dzat dan sifat-sifat Tuhan.
Sedangkan tema kedua berusaha menyingkap perbuatan-perbuatan, kehendak dan
peraturan-peraturan Tuhan. Keesaan dan keadilan Tuhan adalah benar-benar rasional.
Tuhan itu Esa dan keesaan-Nya
adalah universalitas. Keadilannya menuntut kebebasan dan tanggung jawab manusia
terhadap perbuatan-perbuatannya, yang berarti manusia itu bebas dan rasional.[34]
Kepercayaan atau keimanan kepada
Tuhan mesti dibangun dengan pengetahuan tentang dzat-Nya dan dibuktikan dengan
pengetahuan sifat-sifat-Nya. Kedua kepercayaan itu pada akhirnya akan bermuara
kepada keimanan yang kokoh tentang keesaan Tuhan sebagai prinsip universal yakni
pensucian Tuhan dari berbagai penyerupaan dan persekutuan.
Dzat selalu menampilkan diri dalam sifat-sifat. Tuhan,
bagi Hassan Hanafi,[35] memiliki
sifat-sifat yang identik dengan dzat-Nya. Hubungan antara dzat dan
sifat-sifat adalah hubungan persamaan bukan penambahan (menempelkan sifat ke
dalam dzat seperti yang diyakini kelompok Asy’ariyah). Sedangkan dzat Tuhan
sendiri memiliki enam deskripsi atau sifat. Sifat Tuhan ada tujuh yaitu Maha
Mengetahui, Maha Kuasa, Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Berfirman, dan
Maha Berkehendak. Ketiga yang pertama kurang antromorfis dibandingkan
dengan empat yang terakhir.
Al-Quran datang telah membawa tiga
persoalan yang sama sekali baru. Pertama, problem yang lahir dari
pandangan tentang yang riil. Apakah sesungguhnya riil itu? Wahyu al-Quran
memberikan posisi yang sangat baru dalam hubungan antara yang
riil dan yang tidak riil, antara Yang Satu dengan yang banyak, antara Tuhan dan manusia sebagai makhuk
ciptaan-Nya.[36] Problem kedua, adalah persoalan
sekitar konsekuensi dari kenyataan tersebut di atas, yakni kesadaran manusia
untuk mempercayai dan mengimani adanya Yang Satu. [37]
Sedangkan problem ketiga, adalah
tentang bukti-bukti adanya Yang Satu,
Tuhan.[38]
Menurut Hanafi, ada empat
golongan terkenal dari para pemikir muslim yang telah mengambil bagian penting
dalam persoalan wujud Tuhan, yaitu aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah, aliran
Maturidiyah, aliran Tasawwuf dan aliran Ibnu Rusyd.[39]
Tentunya, tidak mengabaikan para pemikir
selain mereka seperti Ibn ‘Arabi, Ibn Khazm, al-Kindi, al-Farabi dan juga
al-Ghazali.[40]
Ibnu Hazm (994 – 1063 M.) adalah
pemikir yang banyak memiliki keahlian
dalam disiplin keislaman. Dia seorang sejarawan, ahli hadits, ahli tafsir, ahli
fikih dan juga ahli kalam.[41] Ketika
membicarakan bukti-bukti adanya Tuhan dengan akal ia mengatakan: orang tidak
dapat membuktikan adanya Tuhan dengan akal oleh karena terdapat cara berfikir
yang belum diciptakan oleh manusia untuk mengantarkan dirinya kepada keimanan
kepada Tuhan. Kunci segala pemikiran tentang Tuhan, menurutnya, adalah meditasi
tentang adanya sesuatu dalam manusia yang manusia tidak dapat menciptakan
dirinya sendiri.[42]
Di mata al-Kindi (796-873 M.),
Tuhan menurut al-Quran adalah bukan Wujud tetapi Dzat yang menciptakan Wujud.
Oleh Karena itu al-Kindi menolak teori emanasi menurut aliran Neo
Platonisme, sebagaimana ia menolak metafisika Aristoteles yang mengatakan bahwa
penciptaan hanya berarti memberi bentuk kepada bahan yang sudah ada sebelumnya.
[43]
Al-Kindi, dalam usahanya
membuktikan adanya Tuhan, [44]
mengatakan bahwa alam itu baru. Setiap sesuatu yang baru menurutnya, selalu
membutuhkan sesuatu yang menjadi penyebab bagi kehadirannya. Karenanya, Ia
membutuhkan dzat yang menciptakan dan Dia adalah Tuhan.
Al-Kindi menegaskan, Allah adalah Satu Yang Hakiki (al-Wahid
al-Haqq), satu yang substansinya tidak akan menjadi banyak disebabkan oleh
apa pun juga, tidak akan terbagi-bagi dalam bentuk apa pun juga, tidak
disebabkan oleh substansinya sendiri maupun oleh hal ihwal di luar substansinya. Dia tidak
bertempat dan tidak berwaktu, tidak membawa dan tidak dibawa. Dia bukan
keseluruhan (kull) dan bukan juga bagian (juz).
Al-Farabi mengatakan, di dalam
hidup ini kita harus mencari “Sebab Utama” bagaimana alam ini wujud, untuk apa
ia diadakan, dan kekuatan apakah yang mengadakannya. Demikianlah sehingga orang
sampai kepada kesimpulan bahwa, al-Mawjud al-Awwal (الموجود الأول) tidak mungkin mempunyai sumber
asal. Dia adalah “Sumber Pertama” bagi eksistensi seluruh alam wujud. Al-Farabi
menegaskan Allah itu Maha Suci dari segala bentuk kekurangan. Dialah yang kekal
eskistensi-Nya, dan baik esensi maupun susbtansi-Nya, Dialah yang eksisteni-Nya
berlainan dengan segala sesuatu yang bukan Dia. Dia tidak mempunyai sekutu atau
lawan apa pun juga.[45]
Sedangkan bagi Ibnu ‘Arabi
manusia tidak akan dapat memikirkan Tuhan secara langsung dengan tidak memakai
bantuan yang terasa, sensible atau spiritual, oleh karena Tuhan itu
berdiri sendiri terpisah dari alam. Memikirkan Tuhan, menurutnya, dalam diri
seorang wanita adalah cara yang paling kuat dan paling sempurna. Persatuan yang
sangat erat dan mendalam, menurutnya,
adalah hubungan suami istri. Ia kemudian menambahkan, bahwa ketika
manusia memikirkan Tuhan dengan beritik tolak dari dirinya, maka ia akan
berakhir kepada-Nya.[46]
Bagi al-Jilli mengetahui Tuhan
harus dilakukan dengan pendekatan yang kontradiktif. Baginya, semua kebenaran
yang kontradiktif bersatu dalam kebenaran.
Tuhan adalah segala sesuatu, akan tetapi pada waktu yang sama Dia juga
bersifat transenden.[47]
Beberapa pendapat tersebut di
atas, menunjukkan dengan jelas bahwa metode dan pendekatan untuk dapat
mengetahui dan mengenal Tuhan adalah sangat beragam. Sebab, al-Quran sebagai
sumber ajaran tentang ketuhanan telah menggariskan bahwa manusia memiliki
dimensi jasad, hati dan akal serta intuisi (dzawq), dan kesemuanya dapat
dipergunakan sebaik-baiknya untuk dapat mengetahui-Nya.
Semenjak ulama-ulama muslim
mengenal dan memahami filsafat Yunani, pembicaraan tentang Tuhan semakin
menarik dan mengasyikkan. Maka, bermunculanlah para ulama yang secara langsung
dan tidak langsung mengkaji persoalan ketuhanan dengan pendekatan baru, yakni logika
dan filsafat.
Mu’tazilah dan Asy’ariyah adalah
dua kelompok besar dalam aliran Teologi Islam (Kalam), yang, karena beberapa
faktor, selalu berseberangan dalam berbagai persoalan kalam. Namun demikian,
dalam usaha membimbing umat dapat mengetahui dan mengenali wujud Tuhan di
antara mereka tidak ada perbedaan mendasar dan petunjuk al-Quran selalu menjadi
pegangan dasar.[48] Mereka
telah mengajukan dua dalil (istilah Hanafi), yaitu dalil jawhar dan
dalil wajib-mumkin.[49]
Abû Bakr Muhammad bin Thayyib
al-Bâqillânîy (w. 303 H.), salah seorang murid langsung al-Asya’riy merumuskan
dalil tentang adanya Allah berdasarkan kenyataan alam. Alam inderawi,
menurutnya, adalah baru karena ia memiliki tiga unsur pokok yaitu: jisim,
jawhar (substansi) dan ‘aradh (accident) yang melekat pada keduanya,
jisim dan jawhar.[50] Di
kalangan Mu’tazilah konsep ini dikembangkan oleh Abû al-Hudzayl al-‘Allâf (w.
235 H.).
Dalil ini menyatakan bahwa,
setiap benda di alam ini pasti mengalami pergantian keadaan yang
bermacam-macam. Benda juga dapat dibagi-bagi sampai dengan pada bagian yang
sangat terkecil yang tidak dapat dibagi lagi atau jawhar farîd alias
atom. Tetapi, karena jawhar farîd itu tidak dapat lepas dari ‘aradh sedangkan
‘aradh itu baru maka ia pun
bersifat baru. Setiap yang baru pastilah ada yang menciptakan, dan Dia adalah
Tuhan.[51]
Abu al-Ma’la al-Juwayni alias
Imam al-Haramayn (w. 428 H.), terkenal sebagai tokoh dari kalangan Asy’ariyah
yang terkenal sebagai pencipta dalil ini. Dalil ini mengatakan bahwa, alam
dengan segala isinya bisa terjadi dalam keadaan yang berbeda sama sekali
daripada keadaannya yang sekarang. Alam yang sekarang, menurutnya, adalah bukan
alam yang paling baik dan masih memiliki kemungkinan untuk menjadi yang lebih
baik, karena tidak ada yang mengharuskan Tuhan menciptakan yang lebih baik.
Dengan kata lain, Tuhan adalah alam yang mungkin bisa wujud dan bisa tidak
wujud. Akan tetapi, katanya, karena kenyataannya alam telah wujud tentulah ada
Dzat yang mewujudkannya. Dia adalah Tuhan.[52]
Jalan pemikiran ini jelas tidak sejalan dengan al-Quran bahkan bertentangan,
tidak logis dan bisa jadi menggoncangkan keimanan. Dalil ini lazim disebut
sebagai dalil Mumkin dan Wajib[53]
Dalil ini dikemukakan oleh
al-Matuiridîy yang mengatakan bahwa, alam ini tidak mungkin qadîm karena
padanya terdapat keadaan yang berlawanan, sepertidiam dan bergerak, baik dan
buruk, dan seterusnya. Keadaan-keadaan ini menunjukkan sifat baru dan sesuatu
yang tidak terlepas dari yang baru pastilah ia baru pula. Setiap yang baru
pastilah ada yang menciptakan dan Dia adalah Tuhan. Inilah dalil Perlawanan ‘Aradh
al-Maturidiy.
Ibnu Rusyd menempuh metode lain
dalam menetapkan pembuktian adanya
Allah, karena ia sangat setia dan jujur kepada Aristoteles. Namun
demikian, dalam hal ketuhanan, ia menampilkan pendapat pribadinya yang
berlainan dari para juru tafsir Aristoteles.[54]
Ia mengikuti jalan agama. Menurutnya, Allah adalah Penggerak yang tidak
bergerak. Dia adalah Maha Penggerak yang tidak ada penggerak selain-Nya. Dia menegaskan bahwa, segala yang
ada di alam wujud ini sebagai kenyataan konkrit yakni sebagi substansi yang
nyata. Dia juga menegaskan bahwa, semua yang ada di alam wujud ini adalah
ciptaan Allah dan diciptakan oleh Allah untuk kepentingan manusia. Inilah dalil
penciptaan (ikhtira’) dan dalil pengurusan (‘inayah) yang dipergunakan Ibn Rusyd dalam menetapkan
adanya Allah.[55]
Semua dalil Ahli Kalam di atas
adalah pendekatan alternatif untuk melakukan
pembuktian adanya Tuhan yang di satu sisi dapat diterima oleh akal
logis, tetapi di sisi lain bisa jadi tidak dapat diterima oleh akal orang awam.
Oleh karena itu, selain Ahli Kalam, kelompok tasawwuf merasa berkepentingan
menyumbangkan pemikirannya untuk membuktikan adanya Tuhan.
Beberapa argumen para ulama
tersebut di atas, pada dasarnya ingin membantu umat Islam membuktikan adanya
Allah. Allah Tuhan yang Wâjib al-Wujûd. Sebagai Dzat yang Wâjib
al-Wujûd Ia mempunyai
kekhususan yang tidak dimiliki oleh
selain diri-Nya. Dia tidak membutuhkan
ikatan dengan apapun, selain diri-Nya. Dia bukanlah jisim dan bukan pula
‘aradh, serta tidak terbagi-bagi. Dia tidak menerima ke-”tidak
ada” an. Dia tidak memiliki sifat berubah karena perubahan hanya terjadi pada
alam ciptaan-Nya. Dia adalah Dzat yang qadîm dan azalîy.[56]
1.
Sifat-sifat Allah
Al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia agar dalam usaha
mengenal Allah, hendaknya menggunakan bukti-bukti yang menunjuk kepada sifat, kesempurnaan, keagungan dan
kebaikan Allah. Al-Quran, bagi Mohammad Syalthout, nampaknya menutup
kemungkinan manusia melakukan pencarian dan perenungan terhadap hakikat dan dzat Allah.[57]
Banyak ayat-ayat al-Quran yang
menunjuk pada eksistensi sifat-sifat Allah. Jumlah sifat
Allah menurut hadits ada 99 sifat, tetapi Muhammad Husein al-Thabathaba’i
menyimpulkannya menjadi 127 nama atau sifat yang kesemuanya merupakan Asmâ’
al-Husnâ.[58]
Sifat-sifat Allah yang
diterangkan di dalam al-Quran lebih mendekati konsep tanzih (menjauhkan dan mensucikan Allah dari segala
macam penyerupaan, personifikasi atau antromophormisme). Meskipun, terdapat beberapa
sifat Tuhan, dalam kajian Ahli Kalam, yang terdapat pada manusia seperti sifat
kuasa, kehendak, mendengar, melihat, berbicara,d an sebagainya.[59] Dipandang
dari aspek keagamaan sifat Allah, disebut
Asmâ’ al-Husnâ, yang terdapat dalam al-Quran lebih mempunyai arti
dibanding dengan sifat Allah yang dihasilkan oleh teolog sebanyak dua puluh.
Sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Asmâ’ al-Husnâ itulah yang
justru memberikan dampak kejiwaan dan implikasi lainnya.[60]
Al-Quran menegaskan Allah sebagai
Tuhan dengan suatu konsep Pencipta Mutlak alam semesta, dimana sifat-sifat
kreativitas, ketertiban dan kasih tidak hanya terletak berdampingan atau
ditambahkan satu pada yang lainnya saja, tetapi saling berjalin. Bagi-Nya
kreativitas dan hukum atau perintah.[61]
Sifat-sifat Allah dalam
persepektif al-Quran ada yang berbentuk perintah penelaahan terhadap fenomena
makrokosmos ciptaan-Nya. Di sini manusia diperintahkan membaca ayat-ayat Allah
yang tidak berbentuk teks tetapi alam, atau ayat-ayat kawnîyah. Al_Quran
menyebut alam ini sebagai ayat yang harus diteliti untuk mengetahui rahasia
yang terdapat dibelakangnya. Penelitian dan pemikiran mendalam tentang ayat kawnîyah
ini membawa kepada tersingkapnya hukum alam yang mengatur perjalanan alam
dan akhirnya kepada Tuhan, Maha Pencipta dan Maha pengatur alam semesta.[62]
Sifat-sifat Allah sebagaimana
terdapat di dalam Asmâ’ al-Husnâ bila ditinjau dari sisi keimanan,
setidak-tidaknya memiliki tiga unsur keimanan. Pertama, mengimani
nama-nama Allah. Kedua, mengimani makna-makna yang trekandung di dalam
nama-nama Allah. Dan, ketiga mengimani objek yang sesuai dengan makna
nama-nama Allah.[63]
Sifat-sifat yang disebutkan oleh
Allah tentang Diri-Nya, sebagaimana termaktub di dalam al-Quran, secara garis
besar terdiri dari dua sifat yaitu sifat tsubûtîyah dan sifat salbîyah.
Sifat tsubûtîyah keberadaannya ditetapkan sendiri oleh Allah SWT. di
dalam al-Quran atau melalui sabda Rasulullah SAW. Sifat-sifat ini semuanya
adalah sifat kesempurnaan, tidak sama sekali menunjukkan adanya cela dan
kekurangan.[64]
Sifat tsubûtîyah terdiri
dari sifat-sifat dzatîyah dan sifat-sifat fi’lîyah. Sifat dzatiyah
adalah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap berada pada diri Allah
seperti ‘ilm, qudrat, sam’, bashar, ‘izzah, hikmah, ‘ulw, adzamah, dan
sebagainya. Adapun sifat fi’lîyah ialah sifat yang terikat dengan masyî’ah
atau kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, dilakukan-Nya dan jika tidak,
dilakukan-Nya. Seperti istiwa’ di atas ‘arasy dan turun ke langit
terendah. Termasuk ke dalam sifat fi’lîyah adalah sifat khbarîyah seperti
adanya wajah, tangan, dan mata. [65]
Sedangkan sifat salbiyah adalah sifat yang dinafikan oleh Allah bagi Diri-Nya melalui al-Quran atau
sabda Rasulullah SAW. Seluruh sifat ini
adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, seperti mawt, nawm, jahl,
nisyan, ‘ajz, ta’ab, dan sebagainya.
[66] Pada umumnya sifat-sifat salbiyah
tidak disebutkan kecuali hanya dalam tiga situasi yaitu :
1. menerangkan keumuman kesempurnaan Allah seperti dalam surat
42; al-Syûrâ ayat ke-11 yang berbunyi
:
فاطر السّموات والأرض جعـل لكم من انفسكم ازواجا
يذرؤكم فيـه ليس كمثـله شيء وهو السّميع العـليم
2. menolak apa yang dinisbatkan oleh orang-orang kafir terhadap diri
Allah, seperti dalam firman-Nya pada surat 112; al-Ikhlâsh ayat 4 yang berbunyi :
ولم يكن له كفوا أحد
3. menjaga agar jangan terjadi adanya anggapan
terntang kekurangan dalam kesempurnaan Allah seperti dalam surat 44; al-Dukhân ayat 38 yang berbunyi:
وما خلقـنا السموات والأرض ومابينهما
لآعبـين
Seluruh sifat Allah adalah sifat yang menunjukkan kesempurnaan-Nya.
Sama sekali ia tidak mengandung kelemahan ataupun kekurangan. Dasar-dasar dari
sifat-sifat dimaksud adalah dalil sam’i dan dalil ‘aqli.
Harun Nasution membagi sifat-sifat Tuhan menjadi sifat-sifat yang
dipahami dan diyakini sebagai sifat-sifat antromophormis umum dan sifat-sifat
yang umum dalam arti tidak dapat diserupakan atau dipersamakan dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk-Nya.[67]
Perdebatan yang sangat menarik tentang sifat-sifat Tuhan selalu saja
memalingkan perhatian kepada dua aliran besar dalam ilmu Kalam, yakni kelompok
Mu’taziah yang terkenal rasionalis dan kelompok Asy’ariyah yang dikenal
tradisionalis.
Sifat, menurut
Mu’tazilah,[68] tiada
lain merupakan esensi atau hakikat
Tuhan. Mu’tazilah kemudian membagi
sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan yaitu: (1) sifat-sifat yang merupakan
esensi atau hakikat Tuhan dan disebut sifat dzâtîyah, dan (2)
sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’lîyah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan (ta’alluq)
dengan makhluk-Nya, seperti sifat Irâdat, Kalâm, dan al-‘Adl, dan
sebagainya.[69] Sedangkan
sifat-sifat yang tergolong sifat dzâtîyah ialah, umpamanya, sifat wujûd,
baqâ’, qidam, hayât, dan qudrat.
Mu’tazilah tampil melakukan koreksi
total terhadap pendirian berlebih-lebihan dari kelompok Musyabbihah yang
menyebutkan bahwa Allah bersifat qadim dan qadim-Nya bersemayam dalam diri
makhluk. Washil bin ‘Atho hadir dengan membawa paham bahwa Allah tidak memiliki
sifat ijabiy seperti qudrat, iradat dan ‘ilmu. Pendirian ini tentunya
mendatangkan kekhawatiran di kalangan umat Islam karena memungkinkan
pensejajaran pendiriannya dengan keyakinan kaum Nasrani yang mengimani
Trinitas.[70]
Tetapi, para pengikut Washil
merasa tidak perlu mengingkari sifat tersebut. Karena hal ini justru akan
mengosongkan sama sekali dzat Allah dari sifat-sifat-Nya serta menjadikan-Nya
sebagai fikiran murni yang tidak ada isinya. Karena itu, mereka menetapkan adanya
sifat bagi Allah yaitu qudrat dan ‘ilmu.
Asy’ariyah, menurut Harun
Nasution,[71]
memberikan penyelesaian yang berlawanan dengan faham Mu’tazilah mengenai sifat
Allah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari sendiri, tidak dapat dipungkiri bahwa Allah mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatan-Nya, disamping menyatakan bahwa Allah Mengetahui,
Menghendaki, Berkuasa dan sebagainya juga menyatakan bahwa Dia mempunyai
pengetahuan, kemauan dan daya.[72]
Asy’ariyah seperti Mu’tazilah
melakukan pemisahan antara sifat-sifat salabiy dan sifat-sifat ijabiy.
Mereka beralasan bahwa, sifat ijabiy adalah berbeda dengan dzat
Allah dan antara sifat-sifat itu sendiri berlainan satu dan lainnya. Sifat,
menurut mereka, bukanlah hakikat dzat Allah. Allah adalah Dzat yang mengetahui/عليم ,
menghendaki/ مريد , berkuasa/ قدير , berbicara/ متكلم, mendengar/ سميع, dan hidup/ حي .
Al-Maturidiy berpendirian bahwa,
pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Allah mempunyai
sifat-sifat-Nya sejak zaman azali, tanpa pemisahan antara sifat-sifat Dzat (dzatiyah)
dengan sifat-sifat perbuatan (fi’liyah). Dia menegaskan, kita tidak
dibolehkan memperbincangkan apakah sifat itu hakikat dzat atau bukan.[73] Namun
demikian ia bersikap lunak terhadap pendirian Mu’tazilah. Penetapan sifat-sifat
Allah baginya tidak berarti tasybih atau mempersamakan Allah dengan
manusia dan mensucikan Allah tidak berarti harus disebut sebagai penganut faham
Mu’tazilah, tidak pula harus disebut kafir. Meskipun pengingkaran terhadap
sifat-sifat Allah lebih berbahaya daripada menetapkannya, sebab bisa menjadikan
Allah sebagai suatu gambaran yang kosong.
Al-Maturidiy, dalam menjelaskan
sifat-sifat Allah harus mempergunakan cara tasybih dan tanzil secara bersamaan. Sifat-sifat Allah itu qadim
dan tidak bisa diterangkan kecuali dengan menggunakan kata-kata yang biasa
dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakan. Akan tetapi,
dalam hal ini haruslah dipakai jalan tanzih untuk meniadakan setiap
persamaan antara sifat Allah dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu
dipertanyakan, bagaimana sifat ilmu dan qudrat Allah itu, sebab pertanyaan ini
masih memaksakan adanya persamaan.
Al-Haramayn, adalah salah seorang
pengikut al-Asy’ari yang kemudian menjadi guru langsung bagi al-Ghazali
memiliki corak pemikiran berbeda dengan para pendahulunya seperti al-Baqillani
dan al-Asy’ari. Al-Haramayn alias al-Juwayni
relatif mendekati pola-pola pemikiran rasionalis dalam masalah-masalah
teologis. Sebagai tokoh Asy’ariyah ia mengakui adanya sifat-sifat Allah. Bahkan
ia kemudian melakukan formulasi baru tentang sifat-sifat Allah ke dalam dua
kategori. Pertama sifat nafsiyah yaitu sifat-sifat Allah yang melekat
pada dzat Allah, wajib kekal dan tidak memiliki ‘illat. Kedua, sifat ma’nawiyah
yaitu sifat-sifat Allah yang timbul sebagai kelanjutan dari sifat nafsiyah.
Baginya, kedua sifat tersebut tersusun dari jawhar dan ‘aradh
tetapi bersifat azali.[74]
Al-Ghazali, tokoh terkemuka dan
berjasa sangat besar dalam menyebarkan ajaran Asy’ariyah ke seluruh penjuru
dunia, mengatakan bahwa Allah itu Ada dan Maha Esa. Dia menggunakan dalil
barunya alam sebagai bukti adanya Allah. Menurutnya, segala sesuatu yang baru
itu terwujud dengan adanya sebab. Alam adalah baru maka alam dapat terwujud
oleh adanya sebab yang mewujudkan alam yakni Allah. Allah menciptakan alam
dengan kehendak-Nya yang mutlak. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa yang qadîm
hanyalah Allah.[75] Allah
memiliki segala sifat yang sesuai dengan
dzat-Nya, bersifat qadîm, dan berbeda dari sifat makhluk ciptaan-Nya.[76]
Kelompok Asy’ariyah meyakini
bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang azali seperti hayat/ حياة, ‘ilm/ علم , qudrat/قدرة , iradat/
إرادة , sam’/
سمع, bashar/ بصر , dan kalam/ كلام . Allah
adalah dzat Yang Hidup tanpa roh sebagaimana pada mkhluknya. Qudrat atau Kuasa
Allah tidak ditopang oleh sesuatu yang mendatangkan kekuasaan, dan ia tidak ada
batasnya. Pendengaran dan penglihatan meliputi seluruh yang didengar dan
dilihat.[77]
Ibnu Rusyd adalah orang yang
pertama-tama merasakan bahwa pembahasan tentang sifat-sifat Allah tidak ada
gunanya dan memandangnya sebagai perbuatan bid’ah, karena tidak pernah
dibicarakan oleh kaum muslimin pada masa-masa permulaan Islam.[78] Ia lebih
membuka jalan penyelesaian yang berhasil. Ia tidak sependapat dengan
al-Asy’arti dan juga tidak menyetujui paham Mu’tazilah. Ibn Rusyd tidak
sepenuhnya menyetujui pendapat Mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah karena ia
menganggap Mu’tazilah telah mempersamakan dzat Allah dengan sifat-sifat-Nya.
Bagi Ibn Rusyd sifat-sifat Allah
yang disebutkan di dalam al-Quran tidak perlu menimbulkan bilangan sama sekali
pada dzat-Nya, meskipun bilangan yang tidak menghilangkan keEsaan Allah.
Sifat-sifat Allah olehnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu :[79]
1. sifat dzat dan wujud, yaitu sifat-sifat yang meniadakan dari Allah
segala kelemahan yang biasa terdapat pada manusia.
2. sifat-sifat perbuatan yaitu sifat yang menentukan hubungan Allah
dengan makhluk-Nya.
Apapun yang dilakukan oleh para
ahli Kalam dalam menetapkan sifat-sifat Allah, pada dasarnya mereka senantiasa
berusaha keras untuk mensucikan dan membebaskan penyerupaan-penyerupaan ataupun
persamaan-persamaan terhadap Dzat-Nya.
Karena itu, dalam hal demikian mereka senantiasa menjauhkan dua masalah
pokok yaitu tamtsîl dan takyîf atau takayyuf.[80]Tamtsîl
ialah meyakini bahwa sifat Allah
yang ditetapkan itu serupa dengan sifat makhluk. Keyakinan ini sama sekali
tidak dibenarkan baik secara naqli maupun aqli. Secara akal,
tentulah dapat dinyatakan bahwa antara al-Khaliq dan makhluq atau ciptaan-Nya
pastilah ada perbedaan secara keseluruhan. Ini berarti antara keduanya ada
perbedaan juga dalam hal sifat.
Dalil untuk menetapkan nama dan
sifat Allah ialah al-Kitab dan al-Sunnah. Oleh karena itu, tidak bisa
ditetapkan nama dan sifat untuk Allah tanpa berlandaskan pada kedua sumber itu.
Adapun yang tidak tercantum penetapan atau pentiadaannya, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibn Taymiyah, kita wajib tawaqquf alias menahan.
Artinya, karena lafadz yang dipergunakan oleh nash tentang sifat-sifat Allah
itu tidak tercantum penetapan atau peniadaannya. Sedangkan maknanya harus diuraikan secara
detail dan tidak menyimpang dari tujuan pokok mensucikan dzat Allah, tentunya
sikap yang paling tepat adalah tawaqquf. [81]
Sifat-sifat yang dimaksud di atas
lazimnya berupa sifat-sifat yang juga dimiliki oleh manusia seperti sifat
qudrat, ‘ilmu dan hayat. Terhadap sifat
jenis ini kalangan filosof dan Mu’tazilah sepakat untuk tidak melakukan
penta’wilan. Mereka juga sepakat tidak mengakui keberadaan sifat-sifat tersebut
tetapi kalangan Asy’ariyah sebaliknya. Mereka mengakui dan mengimani adanya
sifat-sifat tersebut. Al-Asy’ari dan al-Baqillani misalnya mereka menetapkan
adanya sifat tersebut dan melakukan penta’wilan terhadapnya, berdasarkan
petunjuk langsung dari al-Quran. Artinya, mereka melakukan ta’wil untuk sekadar
menyatakan kesetiaan terhadap ayat-ayat mutasayabbihat yang secara lahiriah jelas-jelas menetapkan
adanya sifat tersebut.
2. Antropomorphis
(Sifat mutasyabbihat) Tuhan
Allah bukanlah materi melainkan immateri.
Karenanya, Ia tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmaniah. Mu’tazilah
yang berpedoman kuat pada akal menganut faham ini. Allah, menurut mereka, tidak
dapat mempunyai badan materi dan oleh karena itu tidak mempunyai sifat-sifat
jasmani.
Kaum Asy’ariyah juga tidak
menerima faham antromophormisme dalam arti bahwa Allah mempunyai sifat-sifat
jasmani yang sama dengan makhluk-Nya. Sungguhpun demikian mereka tetap
menetapkan, dengan berpedoman pada teks eksplisit al-Quran, bahwa Allah mempunyai
wajah, tangan, mata, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam interpretasi mereka,
kesemuanya itu tidaklah sama dan tidak pula dapat disamakan dengan yang ada
pada makhluk seperti manusia. Namun demikian, al-Asy’ari sendiri, dalam hal
ini, tidak memperbolehkan melakukan ta’wil terhadapnya. Dia mencontohkan bahwa Allah mempunyai tangan, tetapi, hal ini
tidak boleh diartikan tangan itu rahmat atapun kekuasaan.[82]
Perdebatan di kalangan ahli kalam
tentang sifat Allah, terutama Asy’ariyah dan Mu’tazilah nampaknya menampilkan
nuansa pemikiran yang sangat menarik
dalam upaya memenuhi tuntutan mensucikan Allah dan membebaskan-Nya dari
persamaan-persamaan. Adapun sifat-sifat Allah yang dijadikan fokus perdebatan
mereka adalah sifat-sifat yang bersifat fi’liyah karena ia mempunyai
hubungan dengan makhluk, serta memungkinkan sekali dilakukan interpretasi
secara antropomorphis.
Perdebatan berlanjut kepada persoalan sifat
kalam dan mengarah kepada persoalan al-Quran, apakah ia qadim ataukah baru. Perkataan atau kalam Allah ialah apa
yang diwahyukan kepada manusia melalui orang-orang pilihan-Nya, yaitu nabi dan rasul yang berisikan peraturan-pertauran
bagi kebahagiaan manusia.[83]
Pernyataan ini memberikan akibat bagi penilaian dan pendirian ahli Kalam
terhadap sifat kalam yang dimiliki oleh Allah.
Aliran Mu’tazilah memandang al-Quran, sebagai
kalam Allah, sebagai perkataan yang terdiri dari huruf dan suara dan
mempersamakannya dengan perkataan yang
lazim dikenal manusia. Kalau al-Quran itu terdiri dari kata-kata, sedangkan
kata-kata itu baru tentulah al-Quran itu baru. Mu’tazilah berpendirian bahwa
kalam dan al-Quran itu bukanlah sifat dzat, tetapi sekadar salah satu dari
sifat perbuatan (shifatfi’liyah) Allah. Karenanya, al-Quran adalah
makhluk dan baru (hadits).
Secara akal, kelompok Mu’tazilah
mengemukakan beberapa alasan bahwa kalau perintah-perintah yang dimuat dalam
al-Quran itu qadim tentunya tidak ada artinya. Sebab, orang yang dituju oleh
perintah itu belum ada. Di lingkungan manusia kalau dikeluarkan sesuatu
perintah sementara orang yang akan dijadikan sasaran perintah itu tidak ada,
pastilah tidak dapat dilaksanakan. Kedua, Allah itu Maha Suci dari
perbuatan-perbuatan yang tidak berguna semacam itu. Kalau kalam Allah itu sifat
dzat dan sifat ma’nawi, tentulah keadaan wahyu untuk kesemua nabi dan rasul-Nya
adalah sama pula dan tentu saja membutuhkan waktu yang tertentu. Karena itu, menurut mereka, kalam Allah
kepada Nabi Musa lain dari kalam Allah pada Nabi Muhammad. Bagaimana sifat
kalam itu dikatakan sifat dzat dan qadim, sedangkan wahyu itu baru dan
berbeda-beda menurut perbedaan rasul atau nabi masing-masing. Ketiga, sudah ada
kesepakatan di antara umat Islam bahwa apa yang dinamakan al-Quran ialah firman
Allah yang dapat didengar dan dibaca dan yang terdiri dari surat-surat,
huruf-huruf tertentu. Sudah tentu al-Quran itu bukan “kalam” yang merupakan
salah satu dari sifat Allah, dan juga bukan sesuatu yang menjadi satu (inherent)
dengan dzat Allah.
Al-Quran, dalam pandangan
Mu’tazilah, sama halnya dengan Taurat ataupun Injil, adalah makhluk ciptaan
Allah. Ia diturunkan dan diwahyukan kepada orang-orang yang dipilih dan
disukai-Nya, yang dapat berbeda-beda caranya dengan jalan ilham (wahyu) atau
dari belakang tirai atau melalui perantaraan Malaikat-Nya. Alhasil, bagi
Mu’tazilah, al-Quran adalah makhluk dan sesuatu yang bersifat baru (hadits).
Menurut al-Syahrastâni Mu’tazilah
berpegang kuat pada pendirian bahwa al-Quran itu tidak bersifat qadim, tetapi
diciptakan oleh Allah dan memandang orang yang mengatakan al-Quran itu qadim
adalah orang muslim yang telah menjadi kafir. Karena, sebagaimana dikemukakan
oleh pemuka Mu’tazilah Baghdad bernama Abu Musa al-Murdar (w. 226 H.), orang
yang demikian itu telah membuat yang bersifat
qadim menjadi dua. Atau, dengan kata
lain, telah menduakan Allah.[84]
Pendapat serupa juga dikemukakan
oleh Abu al-Hudzayl, tokoh generasi awal Mu’atzilah, bahwa al-Quran ataupun
Kalam Allah bukan sesuatu yang qadim atau kekal, melainkan hadits dalam arti
baru dan diciptakan oleh Allah. Al-Nadzdzâm memberikan penjelasan mengenai apa
yang dimaksud dengan kalam atau firman Allah. Kalam, menurutnya, adalah suara
yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru dan
bukan kekal serta diciptakan oleh Allah.
Ahmad bin Hanbal (w.164 – 241 H.)
memandang anggapan dan pendirian Mu’tazilah itu sebagai pendirian, paham dan
keyakinan yang berlaku di kalangan
kelompok Jahmiyah dan juga kaum zindiq.[85]
Ahmad bin Hanbal berpendirian bahwa al-Quran yang dapat dibaca, didengar dan
terdiri dari kata-kata dan huruf adalah qadim dan menjadi sifat “kalam” Allah.
Kelompok Asy’ariyah percaya bahwa
al-Quran atau Kalam Allah itu abadi (qadim). Al-Quran merupakan Perintah
Allah, dan kata “kreatif” kun/كن merupakan seluruh
bentuk sifat kata yang abadi. Pertintah
Allah bukan hanya alat penciptaan tetapi juga pokok penegak ciptaan-Nya.[86]
Menurut al-Asy’ari perkataan atau kalam Allah itu terbagi
menjadi dua bagian penting. Pertama, perkataan yang ada pada dzat-Nya (kalam
kasyfîy). Sifat ini adalah sifat dari dzat dan ia adalah qadim. Kedua,
perkataan atau firman Allah yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan
atau kalam ini bersifat baru dan karenanya ia adalah makhluk. Bagian kedua dari
pendapat al-Asy’ari ini jelas-jelas sama
dengan pendirian Mu’tazilah. Sedangkan kalam yang qadim yang dimaksudnya,
dengan demikian, adalah kalam yang pertama.
Kekekalan dan ke-qadim-an kalam
Allah, dalam pandangan al-Asy’ari, disebabkan karena ekesistensinya sebagai
salah satu dari sifat Allah sedangkan seluruh sifat-sifat Allah adalah Qadim.
Maka, dengan demikian, kalam Allah pun haruslah
qadim dan kekal.
Sesudah al-Asy’ari, pembicaraan
mengenai al-Quran dan kalam Allah tetap berlanjut sebagai usaha penguatan doktrin-doktrin
Asy’ariyah. Al-Maturidiy misalnya hadir dengan membawa solusi terhadap
persoalan ini dengan memandang kalam Allah dari dua sisi sebagaimana
dikemukakan al-Asy’ari terdahulu. Pertama, kalam nafsiy yang menurutnya
sebagai kalam yang ada pada dzat Allah dan qadim, bukan sejenis perkataan
manusia, berhuruf dan bersuara. Kalam
ini menjadi sifat Allah sejak zaman azali. Kita, katanya, tidak
mengetahui hakikatnya, tidak bisa didengar atau dibaca. Kedua, kalam yang
terdiri dari huruf dan suara. Kalam ini sudah tentu baru dan dicipatakan
(oleh Allah).[87]
Menurut Ibn Taymiyah, perbedaan
antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah terletak pada persoalan eksistensi sifat
kalam. Asy’ariyah memandang sifat kalam
Allah sebagai sifat dzatiyah sedangkan Mu’tazilah memposisikannya
sebagai sifat fi’liyah. Padahal menurutnya, pemahaman yang benar adalah
kalam harus diposisikan sebagai sifat dzatiyah dan juga sifat fi’liyah.[88]
3.
Melihat Allah
Melihat Allah adalah peristiwa
yang sangat bersejarah sepanjang pertumbuhan dan perkembangan awal Ilmu Kalam
dalam Islam. Diskusi tentang tema ini melibatkan seluruh tenaga dan fikiran
para ulama kalam dan ahli-ahli filsafat Yunani, termasuk kelompok tasawwuf.
Dalam perkembangan sejarah Ilmu Kalam Islam, pembicaraan mengenai tema ini sangat
menyita banyak tenaga dan fikiran serta waktu dua kelompok besar aliran teologi
Islam yaitu Mu’tazilah dan al-Asy’ariyah.
Nuansa yang lebih menarik dari
sebelumnya, diskusi dan perdebatan tentang melihat Allah yang dilakukan kedua
kelompok tersebut lebih sama-sama berpedoman pada dalil yang sama kuat,
yaitu ayat al-Quran yang, secara
tekstual, sama-sama jelas dan tegas (sharîh).
Masalah melihat Allah dengan mata
kepala adalah berkait dengan masalah kejisiman dan arah. Masalah in menjadi
sangat menarik di kalangan ulama-ulama kalam karena al-Quran sendiri membuka
peluang dilakukannya intrepretasi dengan natîjah atau konklusi yang
berbeda-beda. Sebab lain perdebatan ini adalah perbedaan asumsi dasar tentang
dzat Allah dan gambaran tentang pertalian antara yang melihat dengan yang dilihat.
Allah bersifat immateri dan tidak
dapat dilihat dengan mata kepala. Inilah pendirian Mu’tazilah mengenai melihat
Allah di akhirat kelak. ‘Abd. al-Jabbar menegaskan, Allah tidak mengambil
tempat dan dengan demikian tidak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat
hanyalah yang mengambil tempat. Dan, katanya, bila Allah dapat dilihat dengan
mata kepala maka tentunya Ia dapat dilihat di dalam kehidupan dunia sekarang.
Dia berkeyakinan, tidak ada seorang pun yang dapat melihat-Nya di dunia ini.
Mu’tazilah
mengingkari adanya tajsîm
terhadap Allah, mengingkari arah dan tentunya mengingkari sama sekali tidak
mengakui adanya peristiwa melihat Allah dengan mata kepala. Argumen naqliyah
yang mereka ajukan dalam ayat al-Quran dalam surat al-An’âm ayat 103. Menurut ayat
ini, bagi Mu’tazilah, Allah tidak dapat ditangkap dengan penglihatan. Tegasnya
Allah tidak dapat dilihat.
Kelompok Asy’ariyah berpendirian
sebaliknya. Mereka meyakini sepenuhnya Allah dapat dilihat dengan mata kepala
di akhirat nanti.[89] Allah
berkuasa mutlak dan dapat mengadakan apa saja. Sebaliknya akal manusia itu
lemah dan tidak selamanya sanggup
memahami perbuatan dan ciptaan Allah. Apa saja, sekalipun bertentangan dengan
pendapat akal manusia dapat diperbuat dan diciptakan oleh Allah. Melihat Allah
yang bersifat immateri dengan mata kepala, bagi kelompok Asy’ariyah, tidaklah
mustahil. Manusia, dengan demikian, akan
dapat melihat Allah.
Seperti dikemukakan di awal,
Asy’ariyah mempergunakan argumen nash dari ayat al-Quran untuk mendukung
pendirian mereka. Namun demikian, juga dikemukakan argumen selain al-Quran
berdasarkan pemikiran mereka. Al-Asy’ari mencoba menafsirkan ayat 22 dan 23
surat al-Qiyamah dengan pendekatan
kebahasaan. Dia menegaskan bahwa, kata nâdzirah dalam ayat
ini tidak bisa dimaknai dengan memikirkan, karena akhirat bukan lagi tempat
berfikir. Juga tidak bisa dimaknai
dengan menunggu, karena kata wujûh yang dimaksud adalah muka atau wajah
tidak dapat menunggu sedangkan yang menunggu itu adalah manusia. Oleh karena
itu kata nâdzirah harus diartikan melihat dengan mata.[90]
Al-Juwayniy menegaskan bahwa,
sesuatu yang dapat dilihat dengan mata itu adakalanya karena segi bendanya saja
atau karena segi warnanya saja. Bila
dikatakan dari segi bendanya saja, tentulah kita dapat mengerti warnanya. Kalau
dari segi warnanya saja, tentulah kita dapat melihat bendanya. Karena kedua
hipotesis itu tidak benar, maka sesuatu itu dapat dilihat dengan mata karena ia
berada. Karena Allah itu ada, maka tentulah dapat dilihat. Bagi
al-Ghazali, sebagai pembela Asy’ariyah, menegaskan bahwa sesuatu yang dilihat
tidak harus ada pada arah tertentu dari orang yang melihatnya. Seseorang dapat
saja melihat dirinya pada cermin, cermin itu sendiri bukan dirinya juga tidak
bertempat pada cermin yang di hadapannya. Karena itu orang yang melihat dirinya
pada cermin itu melihat dirinya yang tidak berarah.[91]
Kelompok Maturidiyah juga sefaham dengan Asy’ariyah bahwa Allah dapat dilihat
dengan mata kepala karena Ia mempunyai wujud.
Bagi Bazdawi Allah tetap dapat dilihat walaupun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak
terbatas.[92]
B. Keyakinan Shufi tentang
Allah
Golongan tasawwuf tidak
menggunakan pendekatan logika untuk
membuktikan adanya Tuhan. Mereka menggunakan pengetahuannya didasarkan pada isyrâq
ataupun al-Hadas al-Sûfîy.
Yang bisa dicapai dengan jalan menekan hawa nafsu dan memperbanyak
perenungan-perenungan, kemudian hasil pengetahuan mereka diperkuat dengan
ayat-ayat al-Quran yang dipandangnya sesuai dengan pendirian mereka, dengan
meninggalkan ayat-ayat lain yang menganjurkan kerja rasio.
Ibnu ‘Arabîy (w. 1240 M.)
misalnya meyakini bahwa wujud ini pada hakikatnya hanyalah satu yakni Wujud
Allah yang Mutlak. Wujud Yang Mutlak ini kemudian menampakkan diri dalam tiga
martabat, yaitu martabat ahadîyah, martabat wahdânîyah, dan
martabat tajallîy syuhûdîy.[93]
Pada prinsipnya, ia meyakini bahwa Allah adalah Wujud Yang Mutlak dan Mujarrad,
tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami dan
dikhayalkan. Oleh karenanya, ia menolak anggapan kalau Tuhan dapat diketahui
dengan tanpa melalui alam ciptaan-Nya.
Ahli
Filsafat (Failosof) mencari dan berusaha menemukan, serta meyakini adanya Tuhan dengan menggunakan
rasio. Para ahli kalam (teoloog) mencari dan mengimani adanya Allah dengan
menggunakan mengandalkan kerja akal, tetapi sesekali menyandarkan hasil kerja
akal mereka kepada wahyu (al-Quran atau al-Sunnah). Sementara para sufi, yang
dikenal sebagai komunitas ahli al-Dzawq
meyakini Allah dengan menggunakan intuisi.
Tokoh-tokoh
terkenal pada masa awal adalah Thoyfur bin ‘Isa bin Adam bin Syarwan, Abu Yazid
al-Busthomi (w. 263 H.), Dzu al-Nun al-Mishri (245 H.), al-Hallaj (w. 309 H.),
Abu Sa’id al-Khozzor (226 - 277 H.), Abu Abdullah bin Ali bin al-Husein
(al-Hakim) al-Turmudzi (w. 320 H.), dan Abu Bakr al-Syibli (w. 334 H.). Tokoh—tokoh inilah yang berpengaruh besar
lepada generasi sesudahnya seprti Abu al-Faydh Tsawban bin Ibrohim Dzu al-Nun
al-Mishri (w. 245 H.). Dia murid ahli nimia Jabir bin Hiyan. Pada periode ini
muncul terminologi mahabbah dan ma’rifat, maqom dan ahwal sufi.
Muncul pula masalah-masalah yang menjadi
kajian penting dalam dunia sufi yaitu ilmu batin dan ilmu laduni, selain
masalah ittihad.[94]
Masa sesudahnya tasawuf mulai
dicampuri dengan falsafat Yunani. Maka, muncullah istilah-istilah al-Hulul,
al-Ittihad, dan wihdat al-Wujud, serta al-Faydh dan al-Isyroq.
Tokoh-tokoh berperan pada periode ini adalah Abu Mughits al-Hasan bin Manshur
al-Hallaj (244 - 309 H.), al-Suhrawardi
(w. 578 H.), Ibn ‘Arabi (w. 638 H.), Ibn al-Faridh (w. 632 H.), dan Ibn Sab’in (w. 667 H.). Mereka adalah para
sufi yang tergolong sufi failosof, karena mereka menganut madzhab tasawuf
falsafi. Mereka adalah cendekiawan
muslim yang mengenal filsafat Yunani Kuno, dan karenanya mereka termasuk ulama
yang ahli dalam bidang teologi Dari merekalah
kemudian muncul istilah-istilah al-Hulul, al-Ittihad, dan wihdat al-Wujud, serta al-Faydh dan al-Isyroq.
Tokoh-tokoh berperan pada periode ini adalah Abu Mughits al-Hasan bin Manshur
al-Hallaj (244 - 309 H.), al-Suhrawardi
(w. 578 H.), Ibn ‘Arabi (w. 638
H.), Ibn al-Faridh (w. 632 H.), dan Ibn Sab’in (w. 667 H.).
Abu Hamid al-Ghazali (450 - 505
H.), yang muncul anatara Abad V dan awal
abad VI Hijriah, datang membawa
perubahan baru di dunia sufi, dengan mengkompromikan budaya Persia kedalam
Ahlussunnah. Dia sufi terkenal
sebagai dalam bidang kasyf dan
ma’rifat. Abad V Hijriah sampai awal
abad VII Hijriah muncul Thoriqh al-Qodiriyah (w. 561 H.) yang mendapatkan
hijaza tasawuf dari al-Hasan al-Bashri dari
al-Hasan bin Ali bin Abu Tholib.
Pada masa ini pula muncul istilah-istilah yang tidak lumrah (syath/sytathohat)
dari al-SUhrawardi dan Abu al-Fath Muhyiddin bin Husein (459-587 H.),
Abdurrohim bin ‘Utsman (w. 604 H.) yang memdofikasi budaza Persia Kuno dan
Yunani serta Neoplatonismo kedalam ajarannya tentang al-Faydh yang
dijadikan karakter khusus Thoriqoh al-Suhrawardiyah seperti dalam kitab Hikmat
al-Isyroqiyah, Hayakil al-Nur, al-Talwihat al-‘Arsyiyah, dan al-Maqomat.
Abad VII Hijriah tasawuf
mulai memasuki pemikiran-pemikiran Andalus sehingga liarlah tokoh besar Syakh al-Akbar
Ibn ‘Arabi al-Tho’i (560 – 638 H.) dengan pemikirannya tentang al-Insan
al-Kamil. Dialah tokoh pencipta wihdat al-Wujud yang mengklaim dirinya sebagai Khotam
al-Awliya’. Karya-karyanya yang terrenal antara lain: al-Futuhat al-Makkiyyah, Fsuhsush
al-Hikam, dan Ruh al-Quds.
Madzhab al-Hulul, Wihdat al-Wujud, danal-Ittihad
berkeyakinan bahwa, sufi dapat mengetahui hal-hal gaib sebagaimana Allah.
Tujuan madzhab ini adalah mencapai maqam nubuwwah kemudian berakhir pada
titik puncak terakhir yaitu sampai kepada maqam uluhiyah dan rububiyah.
[1]Hanafi,
Theologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1982), h. 84.
[2]Hamzah
Ya’kub, Filsafat Ketuhanan, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hal. 20
[3]‘Azmi
Islâmîy, Mabâdi’ al-Falsafah wal Akhlâq, (Kuwait : al-Mathba’ah
al-Mişrîyah, 1978), h. 30.
[4]Rasyidi,
H.M., Filsafat Agama,(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 50.
[5]Ibid.,
hal. 50-51.
[6]Hamka,
Filsafat Ketuhanan, (Subaraya: Karunia, 1985), h. 37.
[7]Harun
Hadiwjono, Sari Sejarah Filsafat Barat,Vol. I, (Yogjakarta:
Kanisius, 1980), h. 49.
[8]Rasyidi,
Op. Cit., hal. 54-55.
[9]‘Azmi
Islâmîy, Op. Cit., h. 62.
[10]Ibid.
[11]Will
Durant, The Story of Philosphy: The Lives and Opinions of the World’s
Greatest Philosophiers from Plato to John Dewey, (United States: Pocket
Library, 1960), h. 71.
[12]Harun
Hadiwjono, Op. Cit., h. 63.
[13]Ibid.,
h. 64.
[14]Harun,
Op. Cit., h. 60-61.
[15]Ibid.,
hal. 67.
[16]Achmad
Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), h. 70; Harun
Hadiwijono, Op. Cit., h.75.
[17]Harun
Hadiwjono, Ibid., hal. 76.
[18]Ibid.,
hal.80.
[19]Ibid.,106-108;
Achmad Tafsir, Op.Cit., 86.
[20]Harun,
Ibid., hal. 102.
[21]Hasbullah
Bakry, Filsafat Skolastik Kristen, (Bandung: Salita, 1968), h. 50.
[22]Ibid.,
h. 36.
[23]Hamzah,
Op. Cit., h. 66.
[24]Rasyidi,
Op. Cit., hal. 64.
[25]Ibid.,
hal. 72.
[26]Ibid.,
hal. 82.
[27]‘Azmi
Islami, Op.Cit., h. 62.
[28]‘Azmi
Islami, Op. Cit., h. 30.
[29]Rasyidi,
Op. Cit., h. 64.
[30]Tafsir,
Op. Cit., h. 86; Hamzah, Op. Cit., h. 76.
[31]Harun,
Op. Cit., h. 106, dan 109.
[32]Bierman
& James Gould, Philosophy for a New Generatio, (New York: The
Macmillan Co., 1973), h. 639.
[33]Hassan
Hanafi, Agama Ideologi dan Pembangunan, terj. (Jakarta, P3M, 1995), h.
8-9.
[34]Ibid.,
h. 9.
[35]Ibid.,
h. 21-22.
[36]Roger
Garaudy, Janji-janji Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),h. 145.
[37]Ibid.,
h. 146.
[38]Ibid.,
h. 147.
[39]Hanafi,
Op. Cit., h. 84.
[40]Roger
Garaudy, Op.Cit., h. 146-1154.
[41]Ibrahim
Madkour, Aliran danTeori Filsafat Islam, h. 40.
[42]Ibid.,h.
147-148.
[43]Ibid.,
h. 150.
[44]‘Azmi
Islamiy, Op. Cit., h. 173-174.
[45]Fuâd
al-Ahwânîy, Filsafat Islam, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h.
103.
[46]Ibid.,
h. 160.
[47]Ibid.,
h. 163.
[48]Ahmad
Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry,
(Jakarta: Rajawali, 1983), h. 64.
[49]Hanafi,
Op.Cit., h. 84.
[50]Jism
bukanlah sesuatu yang tunggal tetapi ia tersusun dari jawhar-jawhar, jawhar-jawhar
itu adalah unsur atau bagian terkecil
yang tidak dapat dibagi lagi. Sedangkan ‘aradh adalah keadaan atau sifat
yang melekat pada jisim dan jawhar. Ia selalu berubah dan menghilang pada saat
kedua wujudnya diganti dengan yang lain.
Ahmad Daudy, Op. Cit., h. 66.
[51]Ibid.,
h. 84-85. Alam, dalam pandangan Ahlussunnah, adalah segala sesuatu selain
Allah. Alam memiliki karakter dapat dibagi dan terdiri dari unsur jawhar
(substansi) dan ‘aradh (accident). ‘Abd.al-Lathief Muhammad al-Basyar, al-Ushul
al-Fikriyah li Madzhab Ahl al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah,
t.th.), h. 34-35.
[52]Ibid.,
h. 87.
[53]Ahmad
Daudy, Op. Cit., h. 67. Dalil al-Juwayniy itu sebenarnya merupakan pengembangan
dari konsep al-Baqillaniy yang kemudian mempengaruhi pemikiran parapemuka
Ahlussunnah yang datang kemudian.
[54]Fuâd
al-Ahwanîy, Op. Cit., h. 108-109.
[55]‘Azmi,
Op. Cit., h. 192-193.
[56]‘Abd.
al-Salâm al-Tawbîkhîy, al-‘Aqîdah fî al-Qurân, (Tharâblûs: Jam’îyat
al-Da’wah al-Islâmîyah al-‘Ālamîyah, 1986), h. 134-137.
[57]Mohammad Syaltout, Islam Aqidah dan Syari’ah, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1986), h. 32.
[58]Quraish
Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Mawdu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 2000), h.
34.
[59]Nurcholis
Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.
368.
[60]Nurcholis
Madjid (et.all.), Satu Islam: Sebuah Dilema, (Bandung: Mizan, 1994), h.
29.
[61]Fazlurrahman,
Islam, terj. (Bandung: Pustaka, 2000), h. 37.
[62]Harun
Nasution, Islam Rasional, (Bandung :
Mizan, 2000), h. 55.
[63]Abdurrahman
Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), h. 216.
[64]Muhammad Shalih Utsaimin, Kaidah-kaidah
Utama Masalah Asma dan Sifat Allah, terj. (Jakarta: M.U.S., 1998), h. 41-42.
[65]Ibid.,
h. 45-46.
[66]Ibid.,
h. 43..
[67]Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), h. 135-139.
[68]Ibid.,
h. 53.
[69]Di
kalangan pengikut ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, sifat-sifat Tuhan yang tiga
belas diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, sifat-sifat yang
tidak memiliki ta’alluq dengan makhluk yang terdiri dari sifat: Wujud,
Qidam, Baqa’, Mukhalafatuli al-Hawadits, Qiyamuh bi Nafsih, Wahdaniyat, dan
Hayat. Sedangkan tujuh (7) sifat yang lainnya memiliki ta’alluq
dengan makhluk. Ketujuh sifat dimaksud
ialah sifat: Qudrat, Iradat, ‘Ilm, Sama’,Bashar, dan Kalam. (Sayid Husein
Afandiy, al-Hushun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah ‘ala al-‘Aqaid
al-Islamiyah, (Surabaya :
Hidayah, t.th.), h. 13.
[70]Hanafi,
Op. Cit., h. 104-105.
[71]Harun
Nasution, Op. Cit., h. 136.
[72]al-Syahrastânîy,
al-Milal wa al-Nihal, h. 136.
[73]Hanafi,
Op. Cit., h. 108.
[74]al-Juwaynîy,
Lama’ât al-Adillah, (Beirut: ‘Ālam al-Kutub, 1978), h. 86.
[75]al-Ghazali,
al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, 1983), h. 138.
[76]Ibid.,
h. 148.
[77]‘Abd.
al-Lathief, Op. Cit., h. 46-47.
[78]Hanafi,
Op.Cit., h. 110.
[79]Ibid.,
h.110.
[80]al-‘Utsaimin,
Op. Cit,., h. 47.
[81]Muhammad
Khalil Harras, Ibn Taymiyah al-Salafiy, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Arabiyah, 1984), h. 135.
[82]al-Asy’ariy,
al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, (Madinah: al-Makatabat al-‘Arabiyah
al-Su’udiyah), 1409, h. 49; Paham dan keyakinan ini adalah keyakinan yang
dipedomani oleh kelompok orang-orang yang dianggap zindiq. Ahmad bin
Hanbal, al-Radd ‘ala al-Zanadiqah wa al-Jahamiyah, (Kairo: al-Mathba’ah
al-Salafiyah, 1398), h.37. Al-Ays’ari juga memberikan penilaian serupa dengan
pendapat Ahmad bin Hanbal. (Al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, t.t., t.p.
th., h. 22).
[83]Hanafi,
Op.Cit., h. 121.
[84]Al-Syahrstani,
Op.Cit., h. 69.
[85]Ahmad
bin Hanbal, Op.Cit., h. 22-26; Muhammad Ahmad Ali Mahmud, al-Hanabilah
fi al-Baghdad, h. 108-109. Ahmad
bin Hanbal terkenal sebagai pelopor kaum yang menyatakan bahwa al-Quran adalah qadim
dan yang karenanya ia mengalami tekanan berat dan siksaan dari pengauasa waktu
itu (mihnah).
[86]A.E.
Afifi, “Penafsiran Islam secara Rasional dan Mistik”, dalam Kenneth W. Morgan
(ed.), Islam Jalan Lurus, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 165.
[87]Hanafi,
Op.Cit., h. 127.
[88]Muhammad
Khalil Harras, Op.Cit., h. 118.; Ibnu Taymiyah, al-Fatwa al-Hamwiyah,
(Kairo: al-Mathba’ahal-Salafiyah, 1398), h. 55 dan 58.
[89]Pemahaman
ini merupakan konsekuensi logis dari pendirian Asy’ariyah tentang sifat-sifat Allah yang bersifat
antropomorphis atau tajassum, walaupun pendirian ini tidak mengarah
kepada penyerupaan terhadap Allah. (Harun Nasution, Op.Cit., h. 139).
[90]
al-Asy’ari, Op. Cit., h. 65-70.
[91]
Hanafi, Op. Cit., h. 148.
[92]
Bazdawiy, Op. Cit., h. 77.
[93]Ahmad
Daudy, Op. Cit., h. 74-75.
[94]Ibn Taymiyah, Majma’ al-Fatawa, juz
I, h. 363
0 komentar:
Posting Komentar