KEPRIBADIAN MURID TAREKAT
Studi terhadap Pembinaan
Kepribadian Murid
Tarekat Syathariyah Benda Kerep Kota Cirebon
Oleh:
S U
T E J A
NIP. 19630305 199903 1 001
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK
INDONESIA
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2015 M./ 1436 H.
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah 1
B.
Perumusan
Masalah 4
C.
Perrtanyaan
Penelitian 5
D.
Tujuan
Penelitian 5
E.
Kerangka
Pemikiran 5
F.
Kegunaan
Penelitian 8
G.
Langkah-langkah
Penelitian 9
BAB II POLA PEMBINAAN KEPRIBADIAN MURID TAREKAT
A. Kepribadian Perspektif
Psikologi 13
B.
Kepribadian Muslim 17
C. Pembinaan Kepribadian Islami
25
D. Pola Hubungan Guru-Murid Tarekat
31
BAB III PROSEDUR
PENELITIAN
A.
Metode
Penelitian
45
B.
Sumber Data
46
C.
Tahapan Penelitian
47
D.
Teknik
Pengumpulan Data
49
E.
Teknik Analisis Data
50
BAB IV POLA PEMBINAAN KEPRIBADIAN MURID
TAREKAT SYATHARIYAH
BENDA KEREP KOTA CIREBON
A.
Proses Pembinaan Kepribadian Murid 53
B.
Tujuan Pembinaan Kepribadian Murid 54
C.
Hasil-hasil Pembinaan Kepribadian Murid 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 61
B. Rekomendasi
61
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tasawwuf
bemula dari amalan-amalan praktis, yakni laku mujãhadah dan riyãdhah. Para sufi tidak akan sampai pada tujuannya terkecuali
dengan laku mujãhadah yang dipusatkan untuk mematikan segala
keinginannya selain kepada Allah, menghancurkan segala kejelekannya dan
menjalankan bermacam riyãdhah yang diatur dan ditentukan oleh para sufi
sendiri.[1]
Tarekat (tharîqoh)
secara bahasa berarti jalan atau metode,
sama seperti syarî’ah, sabîl, shirãth dan manhaj. secara harfiah, kata
tharîqoh berarti sîrah,
madzhab, thabaqât dan maslakul mutashawwifah. Tarekatyang dimaksudkan adalah jalan para sufi.[2]
Jalan itu adalah jalan untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqâmât)
dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui cara ini seorang sufi
dapat mencapai tujuan peleburan diri (fanâ’) dengan al-Haq
(Allah). Dalam ungkapan lain, tarekat diartikan sebagai jalan yang khusus
diperuntukkan bagi mereka yang mencari Allah di sini dan kini. Tarekat
merupakan perpaduan antara iman dan islam dalam bentuk ihsãn.[3]
Tarekat dalam pandangan para sufi merupakan istilah bagi praktek mujâhadah.[4] Mujâhadah
dan riyâdhah adalah metode para sufi atau calon sufi yang dijalani atas petunjuk dari al-Sunnah
dan menekankan kesesuaian antara amaliah lahiriah dan amaliah batiniah.[5] Mujâhadah dan
riyâdhah merupakan landasan dalam kerangka
mengaktualisasikan kesempurnaan manusia dan jalan yang mesti ditempuh dalam
pergerakan mencapai maqam tertinggi
yaitu ma’rifatullâh. Al-Ghazâlî memandang ma’rifatullâh bukanlah hasil
dari kontemplasi spekulatif tentang Allah, melainkan berkat latihan-latihan
spiritual (riyãdhah) yang dilakukan melalui praktek tarekat.[6] Tarekat, dengan demikian,
merupakan model pembinaan kepribadian
untuk mencapai pensucian jiwa dan perbaikan diri (takhallî dan tahallî) sebagai media para
murîd untuk dapat mencapai tujuan
dekat dengan Allah.
Tarekat,
secara amaliah (praksis) tumbuh dan berkembang semenjak abad-abad pertama
hijriah dalam bentuk perilaku zuhud
dengan berdasar kepada al-Quran dan al-Sunnah. Perilaku zuhud sebenarnya merupakan perwujudan dari salah
satu aspek yang lazim ditempuh dalam tarekat agar dapat sampai kepada Allah,
yakni mujãhadah. Zuhud bertujuan agar manusia dapat mengendalikan
kecenderungan-kecenderungan terhadap kenikmatan duniawiah secara
berlebihan. Kelompok orang-orang yang
zuhud kemudian mengambil perkumpulan atas
dasar persaudaraan. Mereka lebih mendahulukan amaliah nyata daripada
perenungan-perenungan filasafis (kontemplasi atau meditasi). Mereka mempunyai
anggota dan tempat pemondokan serta guru khusus yang disebut syaykh atau mursyid.
Tasawuf melahirkan
thariqat (tarekat).[7] Tarekat
Naqsyabandiyah sudah dikenal di Indonesia sejak abad ke-17 Masehi tetapi
baru benar-benar menjadi populer pada akhir abad ke-19 Masehi.[8] Tarekat
Syattariyah juga tercatat sebagai tarekat yang jauh lebih disukai murîd-murîd
Ahmad al-Qusyasyi (w. 1660 M.) dan Ibrahim bin Hasan al-Kurani (1615-1690 M.)
di Indonesia, karena berbagai gagasan menarik dari kitab Tuhfah menyatu dengan tarekat ini. Ia merupakan
tarekat yang mempribumi karena mudah berpadu dengan tradisi setempat.[9]
Sejak dahulu
Cirebon selalu menjadi pusat tasawuf
dengan sinkretik yang kuat. Banyak pesantren-pesantren kecil di sini
mengajarkan tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah.[10] Pesantren Benda Kerep (berdiri 1940
Masehi)
di Kelurahan Benda Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon. Pesantren Benda Kerep tercatat memiliki ciri yang berbeda
satu dengan lainnya. Disamping itu, dikenal sangat berpengaruh karena
merupakan pusat penyebaran tarekat syattariyah;
sebagai
model aktualisasi diri para murîd tarekat di kalangan pesantren dan warga nahdhiyyin.
Tarekat Syattariyah
Pesantren Benda Kerep memiliki anggota pengamal atau jama’ah sejumlah 107 orang
santri dari jumlah keseluruhan (310
santri). Mereka adalah para santri putra dan santri putri
yang berusia antara 12 sampai 19 tahun.[11] Pola pembinaan santri tarekat ini, menurut KH. Miftach, ditempuh dengan
berbagai macam metode. Pertama, penanaman nilai-nilai
kesejatian hidup. Kedua, mujâhadah dan riyâdhah. Ketiga, pembinaan wawasan keilmuan. Perilaku mujâhadah
dan riyâdhah dilakukan dengan
cara bimbingan wirid atau ritual ketarekatan. Adapun pembinaan wawasan keilmuan ditempuh
melalui proses pembelajaran kitab-kitab klasik.[12]
Pembinaan murîd adalah usaha membantu ke arah pengembangan
kepribadian lebih baik. Kepribadian yang dimaksud[13] adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya
dengan orang lain. Kekhasan itu adalah integrasi karakteristik dari pola tingkahlaku, minat,
pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang. Pembinaan kepribadian yang baik adalah
pembinaan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh
aspek kepribadian secara imbang dan harmonis. Aspek-aspek kepribadian meliputi aspek jasmani dan ketrampilan
fisik, pengetahuan, dan mental atau ruhani. Atau fungsi kognitif, afektif dan konatif yang
akan membantu seseorang dapat memahami dan meyakini pengalaman
keagamaan.[14]
Pemahaman
murîd tarekat terhadap ajaran
Islam kemudian sangat mempengaruhi kualitas keyakinan dan pengamalan keagamaan
dalam kesehariannya. Sebagai seorang muslim, murîd tarekat
seyogyanya dapat menecerminkan
diri sebagai individu yang kepribadian muslim. Pribadi muslim adalah individu yang meyakini dan
mengamalkan rukun-rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji) secara istiqomah dalam kesehariannya.
Karenanya, pembinaan kepribadian murîd ketiga tarekat tersebut merupakan bantaun bagi
murîd tarekat untuk dapat menjadi pribadi muslim. Pribadi yang dari
dalam dirinya tercermin penghayatan dan keyakinan yang kuat terhadap semua
rukun Islam dimaksud. Sehingga dalam kesehariannya terpancar keutamaan dan
kemuliaan dari kemampuannya menginternalisasikan nilai-nilai syahadat, shalat,
puasa, zakat dan haji.
Data awal menjukkan bahwa
pembinaan kepribadian murîd tersebut lebih mengutamakan pembinaan aspek
ruhani atau mental, sedangkan pembinaan aspek jasmaniah dan ketrampilan fisik
sangat diabaikan. Sementara pembinaan aspek pengetahuan atau wawasan menempati
urutan kedua. Persoalannya kemudian adalah, apakah model pembinaan kepribadian murîd tarekat
tersebut merupakan model pembinaan kepribadian yang sesuai
untuk melahirkan pribadi-pribadi muslim ?
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka masalah pokok yang dikaji dalam disertasi
ini adalah model pembinaan kepribadian murîd
Tarekat Syattariyah. Apakah model
pembinaan tarekat tersebut dipandang mampu menciptakan murîd-murîd yang memiliki kepribadian muslim?
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka masalah pokok yang dikaji dalam disertasi ini
adalah model pembinaan kepribadian murîd
Tarekat Syattariyah. Apakah model
pembinaan tarekat tersebut dipandang mampu menciptakan murîd-murîd yang memiliki kepribadian muslim? Ataukah, model pembinaan tarekat tersebut dapat dipandang sebagai
model pembinaan kepribadian muslim ?
D. Pertanyaan
Penelitian
1. Bagaimanakah
Proses Pembinaan Kepribadian Murîd Tarekat Syattariyah di Pesantren Benda Kerep
Harjamukti Kota Cirebon ?
2. Apakah
Tujuan Pembinaan Kepribadian
Murîd Tarekat Syattariyah di Pesantren Benda Kerep
Harjamukti Kota Cirebon ?
3. Bagaimanakah
Hasil Pembinaan Kepribadian Murîd Tarekat Syattariyah di Pesantren Benda Kerep
Harjamukti Kota Cirebon ?
E. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan:
1. Proses Pembinaan Kepribadian Murîd Tarekat Syattariyah di Pesantren Benda Kerep
Harjamukti Kota Cirebon ?
2. Tujuan
Pembinaan Kepribadian Murîd Tarekat Syattariyah di Pesantren Benda Kerep
Harjamukti Kota Cirebon ?
3. Hasil
Pembinaan Kepribadian Murîd Tarekat
Syattariyah di Pesantren
Benda Kerep Harjamukti Kota Cirebon ?
F.
Kerangka Pemikiran
Al-Qurân dan al-Sunnah memiliki perhatian khusus bagaimana setiap
individu manusia berkembang menjadi
pribadi dewasa yang sehat secara mental.
Kesehatan mental itu sendiri pada dasarnya bergantung kepada kemampuan
seseorang melakukan adaptasi.Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan
merupakan dinamika kepribadian seseorang individu. Adaptasi merupakan
organisasi yang dinamis serta ekspresi
dari dorongan-dorongan atau motif yang ada dalam diri seseorang, yang mewakili
hati nurani dan kesadaran dirinya. Setiap pribadi bertugas mengembangkan potensi hati nurani
dan kesadaran untuk mencapai titik tertinggi sebagai pribadi yang kuat, pribadi
yang dapat menjalani kehidupan dengan damai dan tentram. Dengan kata lain, setiap individu bertugas
melakukan pengkondisian (conditioning) tersalurkannya pembinaan dan
pengembangan potensi hati nurani dan kesadaran individu yang kemudian melahirkan kebebadan
berkehendak dan berkreasi. Kondisi sosial yang tepat dibutuhkan untuk mendukung
tercapainya aktualisasi diri ke tingkat lebih tinggi.
Setiap pribadi pada akhirnya harus menjalani proses
aktualisasi diri. Seseorang yang telah
mencapai aktualisasi diri memiliki pengetahuan yang realistis mengenai dirinya
dan mampu menerima diri apa adanya (berdamai dengan dirinya sendiri). Dialah
orang yang telah menjalani pengalaman
puncak, pengalaman yang umumnya dialami oleh orang yang telah
mengaktualisasikan diri sepenuhnya. Pengalaman puncak dapat membantu seseorang
mempertahankan kepribadian yang dewasa. Orang seperti ini terpenuhi secara spiritual,
nyaman dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain, mencintai dan kreatif,
realistis dan produktif.
Dia adalah individu yang berkemampuan
mengembangkan kesadaran diri, hati nurani, kebebasan berkehendak, dan imajinasi kreatifnya, dalam kerangka
pembentukan pribadi yang kuat yang
memiliki kebebasan dan dapat menjalani hidup dengan tentram dan damai.
Dialah pribadi yang unggul dan paling sehat secara psikologis. Mental yang sehat [15]
ditandai dengan tiga komponen utama yaitu: adanya rasa harga diri, merasa puas
dengan peranan dalam kehidupannya, dan terjalin hubungan baik dengan individu
atau orang lain.
Kebutuhan aktualisasi diri (being
needs) ini sifatnya lebih personal dan
spiritual. Pada pemenuhan kebutuhan di level ini, manusia akan mengalami
semacam peak experience, atau pengalaman puncak. Sehingga pada orang-orang ideal, pengalaman puncak dapat saja dialami
berkali-kali, dengan intensitas yang makin kuat dan lama. Begitu panjangnya
proses untuk memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri.
Manusia dituntut
mampu menghubungkan segala perilakunya dengan dimensi spiritual dalam arti lebih
menggali kemampuan dirinya dalam dunia spiritual, pengalaman puncak, dan
kesadaran transendental. Karena,
potensi tertinggi dari individu adalah didalam dunia spiritual. Hal ini
ditunjukkan dengan berbagai pengalaman seperti kemampuan melihat masa depan,
pengalaman mistik, pengembangan spiritualitas, pengalaman puncak, meditasi dan
berbagai macam kajian yang bersifat parapsikologi atau metafisik.
Kepribadian muslim adalah kepribadian yang mengucapkan dua kalimat
syahadat, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan
haji ke baitullah bagi yang mampu. Kepribadian muslim menimbulkan banyak
karakter ideal.[16] Kepribadian muslim
menimbulkan banyak karakter ideal sebagai
manifestasi dari masing-masing rukun Islam.
Tasawuf memandang
pribadiyang utuh adalah
manusia sempurna atau al-Insân al-Kâmil. Kesempurnaan manusia,[17] karenanya terletak pada kesucian jiwanya, sehingga ia
dapat mewujudkan sifat-sifat ilâhîyah (ketuhanan) dalam dirinya dan
mencapai titik kulminasi dalam pengalaman spiritualnya. Kesempurnaan jiwanya
menjadi cermin Tuhan dalam melihat diri-Nya.
Manusia sempurna adalah manusia yang telah
mencapai tahapan tajallî. Tajallî sendiri merupakan hasil dari sebuah proses suluk
yang sangat panjang dan berat dalam
bentuk takhallî dan tahalli. Takhallî dan tahallî yang telah
dirumuskan oleh para sufi lazimnya ditempuh dengan jalan tawbat, wara’, zuhd, shabr,
tawakkal, ridhâ’, syukr, hubb, dan musyâhadah.
Tasawuf, sebagai induk dari tarekat, adalah ajaran tentang latihan
pengendalian diri (mujâhadah al-Nafs) sehingga
manusia mencapai kualifikasi jiwa dekat
(qurb) dan ma’rifat kepada
Allah sebagai hasil puncak dari proses
pensucian jiwa (tazkîyat al-Nafs).
Para sufi memiliki cara-cara yang harus dilakukan untuk mensucikan jiwa.
Metode ini merupakan serangkaian pengamalan ibadah yang harus dilakukan dengan istiqâmah.
Sesuai dengan pengalaman mereka, pengamalan dimaksudmemungkinkan terjadinya
transformasi jiwa, dari jiwa yang rendah ke jiwa yang lebih tinggi. Tasawuf bertugas mengantarkan seorang sâlik
sampai kepada tahap jiwa yang
tertinggi.
Kepribadian
muslim secara sederhana dapat dikemukakan sebagai kepribadian yang tunduk dan patuh untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat fardhu, menunaikan
zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan haji ke baitullah bagi yang mampu. Kepribadian muslim merupakanmanifestasi dari masing-masing rukun Islam. Dengan demikian, kepribadian
muslim lebih sederhana dan lebih mudah diupayakan dibandingkan dengan
kepribadian manusia sempurna yang dicanangkan tasawuf.
G. Langkah-langkah Penelitian
1. Teknik
Pengumpulan Data
a.
Observasi
1). Observasi atau pengamatan alamiah.
Pengamatan ini penulis lakukan untuk memperoleh data mengenai murîd tarekat
sesuai dengan kondisi alamiah dan apa
adanya sehingga mudah dideskripsikan kondisi yang sebenarnya.
2). Partcipan Observation atau
pengamatan partipasi. Pengamatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data dengan
cara penulis melibatkan diri secara langsung dalam proses pembinaan murîd tarekat
di lingkungan pesantren sehingga data hasil penelitian dapat dideskripsikan dan
penulis dapat mengalami secara langsung apa adanya mengenai proses pembinaan
yang dialami para murîd tarekat.
3). Unclossed
Observation atau pengamatan secara terbuka. Pengamatan ini
dilakukan terhadap semua objek yang diteliti dan tidak terbatas pada objek
tertentu saja.
b. Wawancara Mendalam
Teknik ini dilakukan dengan cara melakukan dialog atau
tanya jawab secara langsung dengan sumber atau informan, baik murîd maupun mursyid, serta
pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. Data yang dibutuhkan adalah
masalah persepsi, sikap, dan respon para jama’ah mengenai proses pembinaan
kepribadian murîd tarekat yang sudah berlangsung di Syattariyah
di Pesantren Benda Kerep Harjamukti Kota Cirebon selama ini.
Prakteknya
di lapangan, wawancara dilakukan dengan berbagai macam cara berdasarkan tujuan
yang hendak dicapai. Wawancara terkadang dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan secara langsung dan dijawab secara langsung pula. Wawancara yang
dilakukan terkadang bersifat terarah atau terfokus (focused interveiew)
dan terkadang bersifat bebas (nondirect interveiew). Terkadang penulis hanya mengajukan satu
pertanyaan untuk dijawab langsung dan
terkadang memberikan peluang kepada
sumber untuk menjawab secara leluasa, tidak hanya menjawab satu pertanyaan yang
diajukan.
Wawancara
juga dilakukan dengan cara wawancara inividual, wawancara dengan informan
kunci, wawancara kelompok dan wawancara kelompok terfokus. Wawancara invidual
penulis lakukan seperti dengan murîd tarekat. Wawancara dengan sumber atau informan kunci
yang penulis lakukan adalah wawancara dengan
murysid. Wawancara kelompok yang pernah penulis coba lakukan
dengan beberapa murîd
tarekat dan beberapa kyai kerabat mursyid. Selain itu penulis juga
melakukan diskusi terfokus dengan sesama pengamal tarekat dan akademisi yang
penulis nilai memiliki pengetahuan tentang tarekat.
c. Dokumentasi
Dokumen yang
diamksud dalam penelitian ini adalah data tertulis tentang tarekat syattariyah. Fakta di lapangan menunjukkan dokumen yang
dimaksud tidak seluruhnya tercatat dengan baik dan rapih. Sehingga, dokuken
dimaksud adalah data yang tertulis atau yang bisa diungkapkan meskipun tidak tercatat secara baik dan rapih layaknya
sebuah dokumen.
Namun
demikian dokumen dimaksud sangat membantu mengingat dokumen itu memiliki
berbagai funfsi. Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari meskipun
dokumen itu tidak berlaku lagi. Kedua, dokumen merupakan bukti yang dapat
dijadikan dasar untuk menghindari tuduhan atau kekeliruan interpretasi dari
luar. Ketiga, dokumen merupakan sumber data yang alami karena ia dapat
menjelaskan konteks. Keempat, dokumen itu terkadang relative mudah dan murah
karena dapat diperoleh dengan
cuma-cuma. Kelima, dokumen merupakan sumber data yang non-reaktif. Keenam,
dokumen dapat berperan sebagai pelengkap
dan dapat memperkaya informasi.
Teknik dokumentasi ini dilakukan untuk
mengumpulkan data tentang jumlah murîd, jama’ah, pengikut pengamal tarekat, ataupun aktivitas jama’ah. Teknik ini juga dilakukan dengan melakukan pencatatan atau dokumentasi terhadap data yang yang bisa dicatat/didokumentasikan.
2.
Teknik Analisis Data
Lazimnya,
penelitian kualitatif ini bertujuan untuk menghasilkan temuan-temuan. Penelitian kualitatif ini lebih mengutamakan kemampuan, ketrampilan
dan daya analisis si peneliti sebagai unsur yang sangat penting.[18] Penelitian yang penulis lakukan mengarah kepada tujuan pokok, yaitu menjawab pertanyaan
penelitian. Setelah proses pengumpulan data, maka langkah selanjutnya yang
penulis lakukan adalah analisis data
secara kualitatif.
Analisis
data, dalam bagian ini, merupakan proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi. Mengingat penelitian ini adalah
penelitian kualitatif, maka analisis datanya bersifat induktif. Dalam
penelitian kualitatif,[19]analisis
data yang dilakukan berifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan
kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori.
Analisis
data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan diinterpretasikan. Jawaban terhadap
masalah penelitian yang dijaukan dalam pertanyaan penelitian, penulis sajikan
dalam bentuk uraian deduktif dan induktif dengan menggunakan paparan (description),
penjelasan (explanation), dan penfsiran (intrepretation). Dengan
demikian, analisis data dimaksudkan
pertama-tama untuk mengorganisasikan data yang terkumpul terdiri dari catatan
lapangan.
Hasil akhir
seluruh proses penelitian ini kemudian terangkum dalam sebuah kesimpulan akhir.
Dengan demikian, penelitian ini berkahir pada sebuah kesimpulan akhir.
[1] Hasan, Abdul
Hakim, al-Tashawwuf fî al-Syi’r al-‘Arabî, h. 20
[2] Anîs, Ibrãhîm, al-Mu’jam al-Wasîth, Beirut, Dãr al-Kutub al-‘Ilmiyah, h. 556.
[3] Nashr, Sayyed Hussein, Living Sufisme, terj.
Jakarta, Pustaka, h. 63.
[4]Mujãhadah adalah memerangi atau mencegah kecenderungan
hawa nafsu dari masalah-masalah duniawi. Mujahadah yang lazim berlaku di
kalangan orang ‘awam adalah berupa perbuatan-perbuatan lahiriah yang
sesuai dengan ketentuan syari’at. Sementara di kalangan khawãsh mujahadah dimaknai
sebagai usaha keras menuscikan batin dari segala akhlak tercela. (Lihat: Ahmad al-Kamsyakhãwãnî al-Naqsyabandî, Jãmi’ al-Ushûl fî al- Awliyã’ wa Anwã’ihim
wa Awshãfhim wa Ushãl Kull Tharîq wa Muhimmãt al-Murîd wa Syurûth al-Syaykh.
Mesir, Dar al-Kutub al-‘Arabiah al-Kubra, t.th., h. 125.
[6] al-Palimbani, Abd.
Shamad, Syar al-Sãlikin, J. IV, h. 103.
[9]Burienessen, Martin
Van, Kitab Kuning Pesantren dan
Tarekat, Bandung, Mizan, 1999, h.
194
[10] Bruinessen, MartinVan, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia,Bandung, Mizan, 1992, hal. 166.
[11]Wawancara penulis dengan
KH. Mifatch/mursyid Syattariyah Pest. Benda Kerep Kota Cirebon , Kamis, 8
Februari 2012.
[12]Kitab-kitab
yang diajarkan adalah: Ihya’ Ulum al-Din, Fath al-Mu’in, dan Dahlan Alfiyah (setiap malam kecuali malam Selasa dan Ahad), Nadhm al-‘Imriti
dan Ta’lim al-Muta’allim (setiap Sabtu malam usai salat Isya) dan Bidayat
al-Hidayah dan Risalah al-Mu’awanah
(setiap Senin malam).
[13]Tim Widyatamma, Kamus
Psikologi, Jakarta, 20120, hal. 249
[15] Sukmadinta, Nana Syaodin, Landasan
Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 148.
[16]Mujib,
Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam
Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta, Darul Falah, 1999, hal. 196
[17]al-Jîlî, ‘Abd. al-Karîm,al-Insânal-Kâmilfî
Ma‘rifat al-Awâkhir wa al-Awâ’il, jilid II, Beirût, Dâr al-Fikr, t.th.,
hal. 77. Lihat juga Anwâr al-Za‘bi, Masalat al-Ma‘rifat wa Manhaj wa
al-Bahts ‘inda al-Ghazâlî, Damaskus, Dâr al-Fikr, 2000, hal. 257.
[18]Bachtiar, Wardi, Metode Penelitian Sosial, Bandung, Gunung Jati Press, 1998, h. 24.
[19]Saebani, Beni Ahmad, Metodologi
Penelitian, h. 122.
0 komentar:
Posting Komentar